PELITA (PENGUATAN NILAI INTEGRITAS AUDITOR KEUANGAN): MEMINIMALISIR PRAKTIK KORUPSI DALAM PENETAPAN OPINI WTP OLEH BPK UNTUK MENDORONG AKUNTABILITAS KEUANGAN NEGARA

Minggu, 11 Februari 2018

PELITA (PENGUATAN NILAI INTEGRITAS AUDITOR KEUANGAN): MEMINIMALISIR PRAKTIK KORUPSI DALAM PENETAPAN OPINI WTP OLEH BPK UNTUK MENDORONG AKUNTABILITAS KEUANGAN NEGARA



Negara sebagai badan hukum publik, memiliki fungsi yang wajib diembannya sebagaimana yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Fungsi itu berupa (1) melindungi segenap bangsa Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan ehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keempat fungsi tersebut tentu tidak dapat terlaksana apabila tidak ditopang dengan keuangan Negara sebagai sumber pembiayaannya.
Pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara berada pada pemerintah sebagai bagian dari pemerintahan Negara. Hal ini didasarkan bahwa pemerintah berkewajiban memenuhi tugas-tugas sebagaimana termaktub dalam alinea keempat UUD 1945.  Secara konstitusional, pemeriksa pengelolan dan tanggung jawab keuangan Negara dilaksanakan oleh suatu lembaga Negara yaitu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pengaturan mengenai BPK ini sendiri secara jelas diatur dalam Pasal 23 E ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri”.
Pasal 23 E UUD 1945 sebagai dasar hukum BPK kemudian dituangkan secara lebih spesifik dalam Undang- Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang ini dijelaskan bahwa BPK adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pegelolaan dan tanggungjawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Tugas pokok dan fungsi BPK yaitu memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara/daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara atau Daerah berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara/daerah. Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara/daerah yang hasil pemeriksaannya diserahkan kepada DPR, DPD dan DPRD sesuai dengan kewenangannya untuk ditindak lanjuti.
BPK berwewenang menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, lembaga atau badan yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwewenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut untuk dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwewenang sesuai dengan peraturanperundang-undangan.
Pemeriksaan atas laporan keuangan dilakukan dalam rangka memberikan pendapat atau opini atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Opini BPK sendiri merupakan pernyataan atau pendapat profesional BPK yang merupakan kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan.[i] Berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, opini pemeriksaan BPK diberikan berdasarkan kriteria umum yaitu (1) Kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), (2) Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan (3) Efektifitas Sistem Pengendalian Internal (SPI).
Berdasarkan Buletin Teknis  (Bultek) 01 tentang Pelaporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah paragraf 13 tentang Jenis Opini. Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa, yaitu Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Opini Wajar dengan Pengecualian (WDP), Opini Tidak Wajar (TW), dan Tidak Memberi Pendapat (TMP) atau menolak memberi opini.[ii] Dimana Opini WTP sendiri merupakan penilaian tertinggi yang diberikan, karena menunjukkan bahwa laporan keuangan tersebut telah disajikan secara wajar, tidak terdapat kesalahan yang material, dan sesuai standar. Dengan demikian, dapat diandalkan pengguna dengan tidak akan mengalami kesalahan dalam proses pengambilan keputusan.
Hasil opini dari BPK adalah hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut karena banyak pemerintah baik itu lembaga Negara maupun pemerintah daerah yang mendapatkan Opini WTP tetapi dilain sisi juga terdapat banyak korupsi atau penyelewengan. Di beberapa entitas yang memperoleh WTP, pejabatnya malah tersangkut korupsi. Misalnya, Kementerian Agama mendapat WTP, belakangan ditemukan korupsi. Provinsi Sumatera Utara mendapat WTP, tapi Gubernur terlibat korupsi. Hal sama terjadi di beberapa entitas pemerintah. Kasus korupsi pada entitas yang berpredikat WTP telah menggerus kepercayaan masyarakat kepada BPK.[iii]
Pada praktiknya pemberian opini WTP  hanya akan menjadi komoditas untuk meningkatkan gengsi para pejabat publik dalam menjalankan amanah yang diberikan rakyat. Masih lekat dalam ingatan, penyuapan Rp. 400 juta kepada auditor BPK agar memberikan opini WTP atas laporan keuangan tahun 2009 Pemerintah Kota Bekasi.[iv] Pada 2016, bekas auditor BPK Provinsi Sulawesi Utara, Bahar, dijatuhi hukuman 5 tahun 6 bulan penjara. Ia terbukti meloloskan laporan hasil pemeriksaan sejumlah pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Sulut. Pejabat pemkab atau pemkot itu dimintai dana hingga Rp 1,6 miliar.[v] Serangkaian kasus yang melibatkan auditor BPK ini telah menjadi bukti konkret masih rendahnya kualitas dan intergritas dari para Auditor BPK saat ini dan tidak menutup jalan adanya praktik korupsi oleh para Auditor tersebut.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, tentulah dibutuhkan suatu gebrakan dalam proses penetapan WTP, khususnya kaitannya terhadap peran auditor BPK Dalam proses penetapan opini WTP terhadap  praktik-praktik korupsi yang berkembang saat ini. Maka dari itu, sebagai mahasiswa yang menerapkan prinsip Agent Of Change memberikan sebuah gagasan solutif berupa PELITA (Penguatan Nilai Integritas Auditor Keuangan): Meminimalisir Praktik Korupsi Dalam Penetapan Opini WTP oleh BPK di Indonesia Untuk Mendorong Akuntabilitas Keuangan Negara. PELITA menjadi sebuah konsep untuk meningkatkan dan menguatkan nilai integritas dari hasil penilaian, penginputan dan penelitian keuangan oleh auditor BPK tanpa adanya unsur praktik korupsi didalamnya sehingga BPK mampu mengemban tugas sebagai  pengawal harta negara demi terwujudnya akuntabilitas keuangan negara.

Realitas Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan dengan Opini Wajar Tanpa Pengecualian Saat Ini
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan, BPK wajib menguji dan menilai sistem pengendalian internal (SPI) entitas yang bersangkutan, seperti yang di amanatkan dalam pasal 12 UU nomor 15 tahun 2004 berbunyi “Dalam rangka pemeriksaan keuangan dan/atau kinerja, pemeriksa melakukan pengujian dan penilaian atas pelaksanaan sistem pengendalian intern pemerintah.” Dalam pemeriksaan keuangan ini, BPK memberikan sebuah pendapat/opini terkait hasil temuannya.
Berbicara tentang opini, yang menjadi fokus dalam penulisan ini adalah terkait opini wajar tanpa pengecualian atau yang disingkat WTP. WTP disebut juga clean opinion, pendapat tanpa cacat, pendapat bersih dan lain-lain. Sedangkan laporan audit yang berisi opini WTP adalah laporan yang paling dibutuhkan oleh semua pihak. Opini WTP dari BPK RI merupakan salah satu target setiap daerah di Indonesia. Opini yang diberikan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) merupakan cermin bagi kualitas akuntabilitas keuangan atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Jika opini dikaitkan dengan pemeriksaan, pemeriksaan BPK yang bebas dan mandiri adalah salah satu asas pengelolaan keuangan negara merupakan merupakan tugas yang memerlukan integritas yang tinggi, pekerjaan ini tidak dapat dilaksanakan dengan baik tanpa integritas yang kuat didalamnya. Mewujudkan auditor yang berintegritas ini didasarkan pada visi BPK yang ingin Menjadi pendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara melalui pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat. Serta misinya yaitu, Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri; dan Melaksanakan tata kelola organisasi yang berintegritas, independen, dan profesional.

Peran PELITA Dalam Meminimalisir Praktik Korupsi Penetapan WTP Oleh BPK Untuk Mendorong Terciptanya Akuntabilitas Keuangan Negara
Perumusan opini atas laporan keuangan pemerintah merupakan suatu tahapan krusial dalam sebuah penugasan audit keuangan. Hal ini dikarenakan opini yang dikeluarkan auditor menjadi ukuran atas kualitas laporan keuangan pemerintah dan juga mencerminkan kualitas dari pekerjaan audit itu sendiri. Dalam praktik audit keuangan di BPK, perumusan opini ini tanpa disadari telah menjadi sebuah proses yang problematik. Dikatakan problematik karena pada kenyataannya para auditor BPK, khususnya di Perwakilan, sering menghadapi kesulitan dalam merumuskan opini dan, sebagai konsekuensinya, opini yang dibuat para auditor itu terkadang tidak konsisten satu sama lain. Bisa jadi, yang kualitas laporannya lebih baik memperoleh opini lebih jelek dari yang pelaporan keuangannya kurang baik.
Disamping itu, adanya “gengsi” tersendiri bagi lembaga/pemerintah jika mendapatkan opini WTP dari BPK telah menimbulkan benih praktik korupsi. Apalagi saat ini banyak terdapat salah persepsi yang terjadi dikalangan masyarakat terhadap opini yang diberikan oleh BPK seperti opini wajar tanpa pengecualian. Masyarakat berpendapat bahwa opini wajar tanpa pengecualian sama dengan entitas tersebut bebas akan korupsi. Akibat selanjutnya apabila terjadi korupsi maka masyarakat meragukan opini yang dikeluarkan oleh BPK tersebut sehingga banyak kalangan yang meragukan kinerja BPK yang dapat memperjual belikan opini yang dikeluarkan oleh BPK.[vi]
Dengan kondisi itu, wajar saja kemudian muncul banyak dugaan bahwa pemberian opini oleh BPK telah diperjualbelikan. Kementerian, lembaga pemerintah, pemerintah daerah (pemda), dan BUMN tentu menginginkan agar laporan keuangan institusinya mendapat predikat WTP. Sebab, predikat WTP akan memberikan kebanggaan dan menjadi tolak ukur keberhasilan sebuah institusi dalam mengelola anggarannya. WTP merupakan predikat terbaik yang bisa diberikan terhadap laporan keuangan.Opini ini diterbitkan jika laporan keuangan dianggap memberikan informasi yang bebas dari salah saji material.Jika laporan keuangan diberikan opini jenis ini, artinya auditor meyakini berdasarkan bukti-bukti audit yang dikumpulkan, institusi yang bersangkutan dianggap telah menyelenggarakan prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan baik.
Opini BPK tentu saja dikeluarkan oleh auditor dengan memperhatikan secara teliti syarat penetapan WTP itu sendiri, namun ironisnya, fakta memperlihatkan beberapa auditor yang tersangkut kasus penyuapan terkait penetapan opini WTP ini. Misal, pada tahun 2010, dua auditor BPK Provinsi Jawa Barat, Enang Hernawan dan Suharto, divonis empat tahun penjara karena terbukti menerima suap sebesar Rp 400 juta dari Walikota Bekasi Mochtar Muhammad dengan maksud memberikan opini WTP terhadap LKPD Bekasi Tahun 2009.[vii]
Pada 2016, kasus yang sama menimpa bekas auditor BPK Provinsi Sulawesi Utara, Bahar, dijatuhi hukuman 5 tahun 6 bulan penjara.Ia terbukti meloloskan laporan hasil pemeriksaan sejumlah pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Sulut. Pejabat pemkab atau pemkot itu dimintai dana hingga Rp 1,6 miliar.[viii] Kasus-kasus tersebut tentu saja mengikis kepercayaan masyarakat terhadap BPK. Juga menimbulkan kecurigaan kepada institusi yang mendapatkan predikat WTP, apakah diperoleh dengan wajar atau tidak.
Langkah solutif yang penulis tawarkan agar dapat dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap BPK adalah dengan dicanangkannya program PELITA atau Penguatan Nilai Integritas Auditor Keuangan. Melihat besarnya godaan duniawi bagi seorang auditor, maka dibutuhkan sebuah konsep ideal dalam rangka penguatan nilai integritas auditor. Program ini sangat sejalan dengan komitmen BPK dan Pemerintah untuk menegakkan nilai-nilai integritas, independensi, dan profesionalisme dalam menyusun laporan keuangan dan pemeriksaannya.[ix] Yaitu sebuah konsep yang mampu melahirkan auditor profesional, berkarakter tangguh, berintegritas tinggi, cerdas, inovatif dan kreatif dalam menjalankan tugasnya sebagai auditor.


Adapun Program PELITA dapat diuraikan sebaga berikut :
a.     Sosialisasi - Professional Socialisation
Sosialisasi (professional socialisation) merupakan media bagi auditor untuk memahami dan mendalami arti etos, nilai-nilai, norma, etika, intergritas, dan standar perilaku yang ditetapkan dalam kode etik. Sosialisasi yang efektif akan mengembangkan kemampuan auditor untuk menimbang dan mengaplikasikan kode etik itu dalam keseharian tugas dan perilaku mereka.
Kunci utama sosialisasi adalah pendidikan dan pelatihan, serta keteladanan dari pimpinan. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh ketua BPK[x], yang menyatakan bahwa BPK, Kementerian, serta lembaga pengguna anggaran telah membangun dan memiliki sistem yang mampu mencegah terjadinya gangguan terhadap nilai-nilai integritas dan profesionalisme. Namun, sebaik apapun sistem yang ada, tidak akan dapat berfungsi dengan baik apabila terjadi kolusi atau intervensi dari pihak yang seharusnya bertanggung jawab. Sehingga BPK dengan Pemerintah perlu menjamin bekerjanya sistem yang telah dibangun dalam pengelolaan keuangan negara

b.     Harus ada acuan perumusan opini yang (harapannya) lebih praktis dan terukur, dengan tetap mempertimbangkan aspek ilmiah.
Pentinya acuan dalam perumusan opini agar menghindari adanya perbedaan dalam penetuan opini. Hal ini juga secara tidak langsung meminamalisir adanya penyuapan karena penetuan opini harus berdasarkan acuan yang sudah dibuat dan disepakati.
Pada dasarnya, dalam mewujudkan hal tersebut, tentulah dibutuhkan sinergitas dari stakeholder yang terdiri atas:
1.     Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI)
2.     Auditor
3.     Lembaga Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
4.     Masyarakat
c.                 Penerapan Sanksi tegas terhadap Auditor BPK” Nakal”
Langkah yang tidak kalah penting adalah penerapan sanksi yang tegas bagi para auditor BPK yang Nakal dalam hal ini pihak yang melakukan pelanggaran. Hal ini sejalan dengan  prinsip BPK yang secara tegas tidak mentolerir adanya pelanggaran hukum dan kode etik. Dan senantiasa secara tegas mengambil tindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penerapan sanksi yang tegas diawali dengan dilakukannya pemeriksaan secara internal atas pelanggaran kode etik (sesuai Peraturan BPK No. 3 Tahun 2016 tentang Kode Etik BPK) dan pelanggaran disiplin pegawai (sesuai Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS). Hasil pemeriksaan atas pelanggaran kode etik dan pelanggaran disiplin pegawai tersebut dijadikan sebagai dasar bagi Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE) BPK untuk memutuskan bentuk sanksi kepada yang bersangkutan.
BPK dan KPK secara kelembagaan bekerja sama untuk menuntaskan kasus ini sesuai dengan kewenangannya. Dalam hal ini, BPK berwenang pada ranah pelanggaran kode etik dan KPK berwenang pada ranah tindak pidana.Proses dan hasil pemeriksaan internal BPK akan dikomunikasikan kepada aparat penegak hukum, dalam hal ini KPK, sebagai bentuk dukungan dalam memperkuat penindakan hukum. BPK sepenuhnya mendukung segala upaya penegakkan hukum yang telah dan sedang dilaksanakan oleh KPK.[xi] Langkah tegas ini tentu menjadi bukti nyata akan peran nyata  BPK dalam mengawal harta negara demi menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi setiap rakayat indonesia.
Dalam rangka mengawasi alur keuangan dan mengurangi praktik korupsi dibentuklah Badan Pengawas Keuangan (BPK). Pemeriksaan BPK atas laporan keuangan dilakukan dalam rangka memberikan opini atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan oleh auditor, opini yang dimaksud terdiri dari empat kategori, dimana opini yang paling menjadi dinanti ialah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dengan arti bahwa laporan keuangan tersebut telah disajikan secara wajar, tidak terdapat kesalahan yang material, dan sesuai standar. Namun disayangkan, praktik korupsi juga dapat muncul dalam pemberian WTP ini dengan bukti beberapa kasus yang telah terjadi di Indonesia.
Maka dari itu, “PELITA (Penguatan Nilai Integritas Auditor Keuangan): Meminimalisir Praktik Korupsi Dalam Penetapan Opini WTP oleh BPK di Indonesia”, hadir sebagai sebuah jawaban terkait permasalahan praktik korupsi di Indonesia. Konsep ini merupakan upaya pemerintah terkhususnya BPK untuk lebih mengintensifkan nilai integritas keuangan yang dibuat atas dasar penemuan dan pemeriksaan auditor BPK. PELITA dilaksanakan dengan melalui kerjasama dari BPK, Auditor, LKPD dan Masyarakat, dengan program yang terdiri dari Sosialisasi - Professional Socialisation dan harus ada acuan perumusan opini yang lebih praktis dan terukur, dengan tetap mempertimbangkan aspek ilmiah. Serta penerapan sanksi yang tegas. Melalui program PELITA ini diharapkan mampu menjadi upaya untuk menjadikan setiap auditor keuangan BPK menjadi berintegritas dan tentunya menjadi pendorong tercapainya akuntabilitas keuangan negara dalam rangka mengawal keuangan negara. Diharapkan PELITA dapat dilaksanakan guna meminimalisir praktik korupsi dan mengembalikan citra BPK sebagai badan independen pengawal keungan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara
Undang-undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
SUMBER UTAMA
http://www.bpk.go.id/news/bpk-dan-pemerintah-berkomitmen-tegakkan profesionalisme-dalam-penyusunan-dan-pemeriksaan-laporan-keuangan,
http://www.bpk.go.id/news/pernyataan-bpk-atas-penetapan-status-tersangka-auditor-bpk
http://www.bpk.go.id/assets/files/otherpub/2017/otherpub__2017_1511750809.pdf.
http://www.bpk.go.id/assets/files/storage/2017/12/file_storage_1512639232.pdf

JURNAL / ARTIKEL           :
Arnold Nicodemus Musa. 2015. Kajian Hukum atas Opini BPK RI TERHADAP Laporan Pengelolaan dan pertanggungjawaban  Keuangan Pemerintah Daerah. Jurnal  Lex et Societatis. Vol. III/No. 2/Mar/2015/Edisi Khusus.
Ifany Arfa Unnisa. 2015.  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Auditor Dalam Pemberian Opini Audit Atas Laporan Keuangan. Jurnal Jom FEKON: Volume 2 Nomor 2. Oktober 2015.

INTERNET
Gunarwanto. 2017. Opini WTP dan Korupsi. http://www.bpk.go.id/news/opini-wtp-dan-korupsi.
Muh. Fajar Marta.  2017. Ketika Opini audit BPK tak lagi bermakna. http://ekonomi.kompas.com/read/2017/05/31/090000426/ketika.opini.audit.bpk.tak.lagi.bermakna.
Muhammad Fajar Marta. 2017. Ketika Opini Audit BPK Tak Lagi Bermakna. Kompas.com.




[i] Arnold Nicodemus Musa, 2015, Kajian Hukum atas Opini BPK RI Terhadap Laporan Pengelolaan dan pertanggungjawaban  Keuangan Pemerintah Daerah, Jurnal  Lex et Societatis, Vol. III/No. 2/Mar/2015/Edisi Khusus, Hal 83
[ii] Biro Humas dan Kerja sama Internasional BPK RI, 2017,  Mengenal Lebih Dekat BPK (Sebuah PanduanPopuler), hlm 98-99 http://www.bpk.go.id/assets/files/otherpub/2017/otherpub__2017_1511750809.pdf, diakses pada 3 Januari 2017 Pukul 16:40 WITA
[iii] Gunarwanto, 2017, Opini WTP dan Korupsi, http://www.bpk.go.id/news/opini-wtp-dan-korupsi, diakses pada tanggal 19 November 2017 Pukul 19:45 WITA
[iv] Kotot Gutomo, 2017, Berburu Opini WTP, http://www.bpkp.go.id/%20jateng/konten/1910/Berburu-Opini-WTP.bpkp, Diakses pada tanggal 19 November 2017 Pukul 18:20 WITA.
[v] Muh. Fajar Marta,  2017, Ketika Opini audit BPK tak lagi bermakna, http://ekonomi.kompas.com/read/2017/05/31/090000426/ketika.opini.audit.bpk.tak.lagi.bermakna, dikases pada tanggal 19 November 2017 Pukul 18:30 WITA.
[vi] Ifany Arfa Unnisa, 2015,  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Auditor Dalam Pemberian Opini Audit Atas Laporan Keuangan, Jurnal Jom FEKON: Volume 2 Nomor 2, Oktober 2015, Hlm. 3
[vii] Muhammad Fajar Marta, 2017, Ketika Opini Audit BPK Tak Lagi Bermakna, Kompas.com - 31/05/2017, 09:00 Wita
[viii] Ibid
[ix] Siaran Pers Biro Humas dan Kerja sama internasional BPK RI,2017,  BPK dan Pemerintah Berkomitmen tegakkan profesionalisme dalam penyusunan dan pemeriksaan laporan keuangan,http://www.bpk.go.id/news/bpk-dan-pemerintah-berkomitmen-tegakkan profesionalisme-dalam-penyusunan-dan-pemeriksaan-laporan-keuangan, dikases pada 2 Januari 2017 Pukul 19:30 WITA
[x] ibid
[xi] Siaran Pers Biro Humas dan Kerja sama internasional BPK RI,2017, Pernayataan BPK  Atas Penetapan Status Tersangka Auditor BPK, http://www.bpk.go.id/news/pernyataan-bpk-atas-penetapan-status-tersangka-auditor-bpk

1 komentar :