HAK CIPTA
ANALISIS TENTANG HAK CIPTA
PENDAHULUAN.
Istilah
hak cipta di usulkan pertama kali oleh St. Moh. Syah Pada Kongres Kebudayaan di
Bandung tahun 1951 yang kemudian diterima oleh Kongres tersebut, sebagai
pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan
pengertiaanya. Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari
istilah bahasa Belanda Auteurs Recht.[1]
Secara yuridis istilah hak cipta telah dipergunakan dalam UUHC No.6 Tahun 1982,
UUHC No.7 Tahun 1987, UUHC No. 12 Tahun 1997 dan UUHC No. 19 Tahun 2002, serta Undang-undang
Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 Sebagai istilah hak
pengarang yang dipergunakan dalam Auteurswet1912.
Pengartian
Hak Cipta yang lebih luas, diatur dalam pasal Pasal 1 angka 1 UUHC Nomor Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang
timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan
diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. SSementara itu
pengertian hak cipta menurut World Intellectual Property Organization adalah : “
Copyright is alegal form dicribing right given to creator for the literary and
artistic work” Hak Cipta adalah terminology hukum yang menggambarkan
hak-hak yang diberikan kepada pencipta untuk karya-karya mereka dalam bidang
seni dan sastra.[2]
Sejak
lahirnya undang-undang hak cipta yang pertama yaitu pada tahun 1982 hingga
undang-undang yang terakhir yaitu UUHC No.28 tahun 2014, telah banyak terjadi
perubahan mengenai isi dari Undang-undang itu sendiri. Perubahan ini tentu
lahir karena adanya perubahan zaman, sehingga UUHC tentu juga harus
menyesuaikan materi atau muatannya agar tidak ketinggalan zaman. Namun,
permasalahan-permasalahan tentang hak cipta masih sangat tinggi di Indonesia,
mulai dari pembajakan, klaim terhadap hak cipta milik orang lain dan
persoalan-persoalan lain yang hingga saat ini masih belum memiliki solusi yang
konkret.
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Perkembangan Hak Cipta
1. Sejarah
Perkembangan Hak Cipta di Dunia
Hak
Cipta merupakan terjemahan dari copyright dalam bahasa Inggris (secara
harfiah artinya "hak salin"). Copyright diciptakan sejalan
dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses
untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya
yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya.[3]
Di
bidang hak cipta perlindungan mulai diberikan di Inggris pada tahun 1557 kepada
perusahaan alat tulis dalam hal penerbitan buku. Dalam akhir abad ke-17 para
pedagang dan penulis menentang kekuasaan yang diperoleh para penerbit dalam
penerbitan buku, dan menghendaki dapatnya ikut serta dan untuk menikmati hasil
ciptaannya dalam bentuk buku. Sebagai akibat ditemukanya mesin cetak yang
membawa akibat terjadinya perubahan masyarakat maka dalam tahun 1709 parlemen Inggris
menerbitkan Undang-undang Anne (The Statute of Anne). Tujuan
undang-undang tersebut adalah untuk mendorong “learned men to compose and
write useful work”.[4]
Dalam Tahun 1690, John Locke
mengutarakan dalam bukunya Two Treatises on Civil Government bahwa
pengarang atau penulis mempunyai hak dasar (“natural right”) atas karya
ciptanya. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak
eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian
setelah itu karya tersebut menjadi milik umum yang bisa dimanfaatkan siapa saja
secara bebas. Adapun perkembangan di Belanda dengan Undang-Undang tahun 1817,
hak cipta (Kopijregt) tetap berada pada penerbit, baru dengan
Undang-Undang Hak Cipta tahun 1881 hak khusus pencipta (uitsuitendrecht van
de maker) sepanjang mengenai pengumuman dan perbanyakan memperoleh
pengakuan formal dan materiil. Dalam tahun 1886 terciptalah Konvensi Bern untuk
perlindungan karya sastra dan seni, suatu pengaturan yang modern di bidang hak
cipta. Kehendak untuk ikut serta dalam Konvensi Bern, merupakan dorongan bagi
Belanda terciptanya Undang-Undang Hak Cipta Tahun 1912 (Auteurswet 1912).
Berne
Convention for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi
Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau "Konvensi
Bern") pada tahun 1886 merupakan ketentuan hukum internasional yang
pertama mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam
konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada si pembuat
karya cipta, dan pengarang atau pembuat tidak harus mendaftarkan karyanya untuk
mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan
dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap
karya tersebut dan juga terhadap karya derivatif atau turunannya (karya- karya
lain yang dibuat berdasarkan karya pertama), hingga si pengarang secara
eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut
sudah habis.
Sejak
tahun 1886, di kalangan negara-negara di kawasan barat Eropa telah diberlakukan
Konvensi Bern, yang ditujukan bagi perlindungan ciptaan-ciptaan di bidang
sastra dan seni. Kecenderungan negara-negara Eropa Barat untuk menjadi peserta
pada Konvensi ini, hal ini yang mendorong kerajaan Belanda untuk memperbaharui undang-undang
hak ciptanya yang sudah berlaku sejak 188110dengan suatu undang-undang hak
cipta baru pada tanggal 1 November tahun 1912, yang dikenal dengan Auteurswet
1912. Tidak lama setelah pemeberlakuan undang-undang ini, kerajaan Belanda
mengikatkan diri pada Konvensi Bern 1886.
2. Sejarah
Perkembngan Hak Cipta Di Indonesia
Secara
yuridis formal Indonesia diperkenalkan dengan masalah hak cipta pada tahun
1912, yaitu pada saat diundangkannya Auteurswet (Wet van 23
September 1912, Staatblad 1912 Nomor 600), yang mulai berlaku 23
September 1912.
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan
Auteurswet 1912 ini kemudian masih dinyatakan berlaku sesuai dengan
ketentuan peralihan yang terdapat dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945, Pasal 192 Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat danPasal
142 Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Pemberlakuan Auteurswet 1912 ini
sudah barang tentu bersifat sementara.
Pada tahun 1958, Perdana Menteri
Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern dan menyatakan semua
ketentuan hukum tentang hak cipta tidak berlaku lagi, agar para intelektual
Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karya asing tanpa harus
membayar royalti. Dengan pertimbangan agar tidak menyulitkan Indonesia dalam
pergaulan masyarakat internasional, sikap itu ditinjau kembali setelah Orde
Baru berkuasa. Ketentuan lama zaman Belanda tentang hak cipta, yakni Auteurswet
1912 berlaku lagi.
Setelah 37 tahun Indonesia merdeka,
Indonesia sebagai negara berdaulat mengundangkan suatu Undang-Undang nasional
tentang Hak Cipta, tepatnya tanggal 12 April 1982 mengundangkan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang dimuat dalam Lembaran Negara RI Tahun
1982 Nomor 15.
UUHC 1982, setelah berjalan kurang
lebih 5 tahun, menemui banyak permasalahan, terutama sebagai akibat kemajuan
teknologi elektronik pada abad ke dua puluh ini, khususnya setelah adanya
program computer sebagai perangkat lunak, merupakan hasil ciptaam yang
memerlukan perlindungan hukum.[5]kemudian
lahir Undang-undang Hak Cipta No.12 Tahun 1997 (UUHC 1997).UUHC 1997 lahir
karena desakan dari dunia Internasional terutama dari Negara Amerika Serikat,
Uni Eropa. Namun karena adanya perkembangan baru, dirasakan perlu untuk
mengadakan perubahan-perubahan lagi dan penyempurnaan atas UUHC 1987.
Penyempurnaan
UUHC1987, dilaksanakan melalui UUHC 1997. Penyempurnan ini bertujuan untuk
memyesuaikan UUHC tersebut dengan TRIPs, karena partisipasi Negara Indonesia
sebagai salah satu Negara peserta Organisasi Perdagangan dunia atau World
Trade Organization (WTO), yang memberikan konsekwensi bahwa Indonesia
berkewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan di bidang Hak
Kekayaan Intelektual dengan persetujuan Internasional. Kemudian pada tahun 2002 UUHC Kembali dirubah
melalui Undang – undang Hak Cipta No. 19 Tahun
2002 (UUHC2002). Penyempurnaan UUHC 2002 didasarkan pada berbagai pertimbangan
yang pada intinya dimaksudkan lagi untuk lebih memberikan perlindungan kepada
para pencipta dan pemegang hak terkait dengan keseimbangan untuk kepentingan masyarakat
pada umumnya. Termasu dalam hal ini adalah untuk kepentingan masyarkat pada
umumnya. Termasuk dalam hal ini adalah untuk mengakomodasi beberapa ketentuan
dalam TRIPs dan WIPO yang belum dempat diakomodasi kedalam UUHC1997. Setelah 12
tahun kemudian, kembali terjadi perbuhan terhadap UUHC. UUHC Nomor 19 tahun
2002 dianggap tidak berlaku lagi dengan hadirnya Undang-undang Hak Cipta Nomor 28
Tahun 2014
B. Analisis lahirnya UUHC No.28 Tahun 2014 sebagai
Pengganti UUHC NO.19 Tahun 2002
1. Definisi
Melalui
Pasal 1 UUHC No.28 tahun 2014,
dapat kita lihat bahwa UUHC No.28 tahun 2014 memberikan definisi yang sedikit
berbeda untuk beberapa hal. Selain itu, dalam bagian definisi, dalam UUHC No.28
tahun 2014 juga diatur lebih banyak, seperti adanya definisi atas “fiksasi”,
“fonogram”, “penggandaan”, “royalti”, “Lembaga Manajemen Kolektif”,
“pembajakan”, “penggunaan secara komersial”, “ganti rugi”, dan sebagainya.
Dalam UUHC No.28 tahun 2014 juga diatur lebih detail mengenai apa itu hak
cipta. Hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak
ekonomi.
2. Cara Pengalihan Hak
Sebagai benda bergerak, baik dalam
UU 19/2002 dan UUHC No.28 tahun 2014 diatur mengenai cara mengalihkan hak
cipta. Akan tetapi dalam Pasal 16 ayat
(1) UUHC No.28 tahun 2014 ditambahkan bahwa hak cipta dapat dialihkan
dengan wakaf.
Masih terkait dengan hak cipta
sebagai benda bergerak, dalam UU 19/2002 tidak diatur mengenai hak cipta
sebagai jaminan. Akan tetapi, dalam Pasal
16 ayat (3) UUHC No.28 tahun 2014 dikatakan bahwa hak cipta adalah benda
bergerak tidak berwujud yang dapat dijaminkan dengan jaminan fidusia.
3. Jangka Waktu
Mengenai
jangka waktu perlindungan hak cipta yang lebih panjang, dalam Pasal 29 ayat (1) UU 19/2002
disebutkan bahwa jangka waktu perlindungan hak cipta adalah selama hidup
pencipta dan berlangsung hingga 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia,
sedangkan dalam UUHC No.28 tahun 2014, masa
berlaku hak cipta dibagi menjadi 2 (dua) yaitu masa berlaku hak moral dan hak
ekonomi.
Hak moral pencipta untuk (i) tetap
mencantumkan atau tidak mencatumkan namanya pada salinan sehubungan dengan
pemakaian ciptaannya untuk umum; (ii) menggunakan nama aliasnya atau
samarannya; (iii) mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan,
mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan
kehormatan diri atau reputasinya, berlaku tanpa batas waktu (Pasal 57 ayat (1) UUHC No.28 tahun 2014).
Sedangkan hak moral untuk (i) mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam
masyarakat; dan (ii) mengubah judul dan anak judul ciptaan, berlaku selama
berlangsungnya jangka waktu hak cipta atas ciptaan yang bersangkutan (Pasal 57 ayat (2) UUHC No.28 tahun 2014).
Kemudian untuk hak ekonomi atas
ciptaan, perlindungan hak cipta berlaku selama hidup pencipta dan terus
berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung mulai
tanggal 1 Januari tahun berikutnya (Pasal
58 ayat (1) UUHC No.28 tahun 2014). Sedangkan jika hak cipta tersebut
dimiliki oleh badan hukum, maka berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali
dilakukan pengumuman. Kemudian untuk ciptaan berupa karya seni terapan,
perlindungan hak cipta berlaku selama 25 tahun sejak pertama kali dilakukan
pengumuman (Pasal 59 ayat (2) UUHC
No.28 tahun 2014).
4.
Perlindungan yang lebih baik
terhadap hak ekonomi para pencipta dan/atau pemilik hak terkait, termasuk
membatasi pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus (sold flat);
UUHC No.28 tahun 2014 ini juga
melindungi pencipta dalam hal terjadi jual putus (sold flat). Ciptaan
buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau
tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa
batas waktu, hak ciptanya beralih kembali kepada pencipta pada saat perjanjian
tersebut mencapai jangka waktu 25 tahun (Pasal 18 UUHC No.28 tahun 2014). Hal tersebut juga berlaku bagi
karya pelaku pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau
dijual hak ekonominya, hak ekonomi tersebut beralih kembali kepada pelaku
pertunjukan setelah jangka waktu 25 tahun (Pasal 30 UUHC No.28 tahun 2014).
5. Larangan
Hal lain yang menarik dari UUHC
No.28 tahun 2014 ini adalah adanya
larangan bagi pengelola tempat perdagangan untuk membiarkan penjualan
dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di
tempat perdagangan yang dikelolanya (Pasal
10 UUHC No.28 tahun 2014). Dalam Pasal
114 UUHC No.28 tahun 2014 diatur mengenai pidana bagi tempat perbelanjaan
yang melanggar ketentuan tersebut, yaitu pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
6. Lembaga
Manajemen Kolektif
UUHC No.28 tahun 2014 juga terdapat Lembaga Manajemen Kolektif yang
sebelumnya tidak diatur dalam UUHC.No.12 tahun 2002. Lembaga Manajemen Kolektif adalah
institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta,
pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya
dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti (Pasal 1 angka 22 UUHC No.28 tahun 2014).
C.
Arti
Penting Hak Cipta Bagi Masyarakat Indonesia
Dizaman
modern saat ini dimana setiap unsur- unsur kehidupan bejalan cepat , serta
melihat besarnya jumlah peduduk Indonesia yang mana tidak lepas dari nilai-nilai
kebuadayaan yang bekembang seperti music, tari, seni satra, ukiran, lukisan,
fotografi, teknologi, dan lain lain. Dari banyaknya karya cipta yang ada tentu
bukan hanya sekedar hanya sesuatu yang lahir sesaaat namun juga datang dari
suatu keinginan dan kerja keras dari pembuat atau penciptanya guna pembuktian
akan ketekunan dan keinginan akan suatu yang berniali baik kepada
manusia, alam atau lingkunganya (bisa jadi lingkuangan adat). Hal hal besar ,
indah dan enuh nilai tersebut tentu saja perlu dilindungi, yang tentunya
perlindungan terbesar adalah dari pemerintah agar tidak ditiru atau bahkan
diaggap sebagai ciptaan orang atau kelompok lain.[6]
Namun
pada zaman yang modern saat ini masih banyak orang yang belum memahami akan
pengertian dan pentinganya hak cipta. Dalam penerapanya tentu masih banyak
ditemukan pelanggaran pelanggaran yang dilakukan oleh oknum oknum baik
perorangan atau kelompok yang baik secara sengaja atau tidak telah mengambil
hak orang lain dalam hal ini ialah hak cipta yang besar, indah dan bernilai.
Banyak penyebab yang menjadikan penjiplakan , peniruan atau pembajakan terjadi
berikut beberapa factor peyebab-penyebab terjadinya antara lain ;[7]
- Kuranganya kesadaran masyarakan akan pentingnya hak cipta.
- Kurangnya sosialisasi serta perlindungan pemerintah akan pentiganya hak cipta, sehingaa banyak masyarakat melakukan pembajakan terutama karena faktor ekonomi.
- Kemudahan akses yang semakin terbuka.
Dengan
faktor-faktor diatas , terutama dengan factor ekonomi yang menjadi landasan,
maka pelanggaran-pelanggaran akan HAKi di Indonesia ini berkembang subur
terutama dikalangan menengah bawah, sebagai contoh kongkrit pada saat ini
banyak penjual kaset CD/DVD yang marak di tiap area keramain baik pasar,
station atau bahkan dijual dengan cara berkeliling, contoh lain mudahnya akses
internet yang membuat segala informasi akan cara dan tempat guna meniru atau
memperbanyak hasil karya seseorang atau kelompok dengan amat sangat mudah,
contoh konkrit lain yang cukup meresahkan masyarakat Indonesia belakangan ini
yakni dimana beberapa tarian dan lagu daerah yang dibajak atau diakui sebagai
hasil kaya budaya Negara lain, hal ini tentu amat sangat disayangkan. Meskipun
undang-undang telah ada dan dibuat hal itu sepertinya tidak membuat para pelaku
pembajakan jera.
Selain
daripada itu di dalam undang undang hak cipta diterangakan bahwa Hak Cipta adalah
mutlak, hal ini berarti hak-hak tersebut selain kepentingan pribadi juga
memperhatikan kepentingan umum. Tentu hal ini penting untuk di ketahui oleh
masyarakat banyak bahwa tidak setiap ciptaan dapat dijadikan hak cipta tentu
juga bila ciptaan menggangu atau meresahkan masyarakat ciptaan tersebut tidak
bisa dianggap sebagai bagian dari ciptaan yang dilindungi dalam hal ini oleh
instansi atau pemerintah.
Hasil
pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa memang penerapan Hak Cipta di
Indonesia masih cukup relatif lemah dengan teleh memasyarakatnya
pembajakan serja juga lemahnya peranan pemeritah akan perlindungan akan hasil
karya cipta baik yang terlahir dari budaya, perorangan atau kelompok.
PENUTUP
Hak Cipta adalah hak eksklusif
pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah
suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Secara
yuridis formal Indonesia diperkenalkan dengan masalah hak cipta pada tahun
1912, yaitu pada saat diundangkannya Auteurswet (Wet van 23
September 1912, Staatblad 1912 Nomor 600), yang mulai berlaku 23
September 1912. Kemudian
lahirlah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang
Hak Cipta. Setelah lima tahun, UUHC
kembali dirubah melalui Undang-undang Hak Cipta
No.12 Tahun 1997. Kemudian UUHC
kembali menaglami perubahan dengan lahirnya Undang
– undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002.
Hingga tahun 2014 UUHC Tahun 2002 tersebut kemudian diganti dengan Undang-undang
Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014.
Dalam
pelaksanaannya hak cipta di Indonesia masih banyak menemui
permasalahan-permasalahan mulai dari
pembajakan, klaim terhadap hak cipta milik orang lain dan persoalan-persoalan
lain yang hingga saat ini masih belum memiliki solusi yang konkret.
DAFTAR PUSTAKA
Ajip
Rasidi.1984. Udang-Udang Hak
Cipta 1982, Pandangan Seorang Awam, Djambatan,
Jakarta,
Husain
Audah 2004, Hak Cipta & Karya Cipta Musik, PT. Pustaka Litera Antara
Nusa,
Bogor
Harris
Munandar dan Sally Sitanggang.Mengenal HAKI (Hak Kekayaan Intelektual : Hak Cipta, Paten, Merek dan
Seluk- beluknya)
Anonim.2014.Penerapan Hak Cipta di Indonesia, https://wekojati.wordpress.com/2014/04/12/penerapan-hak-cipta-di- indonesia/, diakses pada 19 november 2016 pukul 19:25 WITA
[1] Ajip
Rasidi,1984, Udang-Udang Hak Cipta 1982, Pandangan Seorang Awam, Djambatan,
Jakarta, hal 3.
[2] Husain Audah 2004, Hak
Cipta & Karya Cipta Musik, PT. Pustaka Litera Antara Nusa, Bogor, hal
6.
[3]
Harris Munandar dan
Sally Sitanggang, Mengenal HAKI (Hak Kekayaan Intelektual : Hak Cipta,
Paten, Merek dan Seluk- beluknya), hlm.21.
[4] Ibid
[6] Anonim,2014,Penerapan Hak Cipta di
Indonesia, https://wekojati.wordpress.com/2014/04/12/penerapan-hak-cipta-di-indonesia/, diakses
pada 19 november 2016 pukul 19:25 WITA
[7] ibid