HAK CIPTA

Senin, 05 Februari 2018

HAK CIPTA



ANALISIS TENTANG HAK CIPTA



PENDAHULUAN.

            Istilah hak cipta di usulkan pertama kali oleh St. Moh. Syah Pada Kongres Kebudayaan di Bandung tahun 1951 yang kemudian diterima oleh Kongres tersebut, sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan pengertiaanya. Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda Auteurs Recht.[1] Secara yuridis istilah hak cipta telah dipergunakan dalam UUHC No.6 Tahun 1982, UUHC No.7 Tahun 1987, UUHC No. 12 Tahun 1997 dan UUHC No. 19 Tahun 2002, serta Undang-undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 Sebagai istilah hak pengarang yang dipergunakan dalam Auteurswet1912.

            Pengartian Hak Cipta yang lebih luas, diatur dalam pasal Pasal 1 angka 1 UUHC Nomor Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. SSementara itu pengertian hak cipta menurut World Intellectual Property Organization adalah : “ Copyright is alegal form dicribing right given to creator for the literary and artistic work” Hak Cipta adalah terminology hukum yang menggambarkan hak-hak yang diberikan kepada pencipta untuk karya-karya mereka dalam bidang seni dan sastra.[2]

            Sejak lahirnya undang-undang hak cipta yang pertama yaitu pada tahun 1982 hingga undang-undang yang terakhir yaitu UUHC No.28 tahun 2014, telah banyak terjadi perubahan mengenai isi dari Undang-undang itu sendiri. Perubahan ini tentu lahir karena adanya perubahan zaman, sehingga UUHC tentu juga harus menyesuaikan materi atau muatannya agar tidak ketinggalan zaman. Namun, permasalahan-permasalahan tentang hak cipta masih sangat tinggi di Indonesia, mulai dari pembajakan, klaim terhadap hak cipta milik orang lain dan persoalan-persoalan lain yang hingga saat ini masih belum memiliki solusi yang konkret.

PEMBAHASAN

A.  Sejarah Perkembangan Hak Cipta

1.      Sejarah Perkembangan Hak Cipta di Dunia

            Hak Cipta merupakan terjemahan dari copyright dalam bahasa Inggris (secara harfiah artinya "hak salin"). Copyright diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya.[3]

            Di bidang hak cipta perlindungan mulai diberikan di Inggris pada tahun 1557 kepada perusahaan alat tulis dalam hal penerbitan buku. Dalam akhir abad ke-17 para pedagang dan penulis menentang kekuasaan yang diperoleh para penerbit dalam penerbitan buku, dan menghendaki dapatnya ikut serta dan untuk menikmati hasil ciptaannya dalam bentuk buku. Sebagai akibat ditemukanya mesin cetak yang membawa akibat terjadinya perubahan masyarakat maka dalam tahun 1709 parlemen Inggris menerbitkan Undang-undang Anne (The Statute of Anne). Tujuan undang-undang tersebut adalah untuk mendorong “learned men to compose and write useful work”.[4]

            Dalam Tahun 1690, John Locke mengutarakan dalam bukunya Two Treatises on Civil Government bahwa pengarang atau penulis mempunyai hak dasar (“natural right”) atas karya ciptanya. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum yang bisa dimanfaatkan siapa saja secara bebas. Adapun perkembangan di Belanda dengan Undang-Undang tahun 1817, hak cipta (Kopijregt) tetap berada pada penerbit, baru dengan Undang-Undang Hak Cipta tahun 1881 hak khusus pencipta (uitsuitendrecht van de maker) sepanjang mengenai pengumuman dan perbanyakan memperoleh pengakuan formal dan materiil. Dalam tahun 1886 terciptalah Konvensi Bern untuk perlindungan karya sastra dan seni, suatu pengaturan yang modern di bidang hak cipta. Kehendak untuk ikut serta dalam Konvensi Bern, merupakan dorongan bagi Belanda terciptanya Undang-Undang Hak Cipta Tahun 1912 (Auteurswet 1912).

            Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau "Konvensi Bern") pada tahun 1886 merupakan ketentuan hukum internasional yang pertama mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada si pembuat karya cipta, dan pengarang atau pembuat tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatif atau turunannya (karya- karya lain yang dibuat berdasarkan karya pertama), hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut sudah habis.

            Sejak tahun 1886, di kalangan negara-negara di kawasan barat Eropa telah diberlakukan Konvensi Bern, yang ditujukan bagi perlindungan ciptaan-ciptaan di bidang sastra dan seni. Kecenderungan negara-negara Eropa Barat untuk menjadi peserta pada Konvensi ini, hal ini yang mendorong kerajaan Belanda untuk memperbaharui undang-undang hak ciptanya yang sudah berlaku sejak 188110dengan suatu undang-undang hak cipta baru pada tanggal 1 November tahun 1912, yang dikenal dengan Auteurswet 1912. Tidak lama setelah pemeberlakuan undang-undang ini, kerajaan Belanda mengikatkan diri pada Konvensi Bern 1886.

           

2.      Sejarah Perkembngan Hak Cipta Di Indonesia

            Secara yuridis formal Indonesia diperkenalkan dengan masalah hak cipta pada tahun 1912, yaitu pada saat diundangkannya Auteurswet (Wet van 23 September 1912, Staatblad 1912 Nomor 600), yang mulai berlaku 23 September 1912.

            Setelah Indonesia merdeka, ketentuan Auteurswet 1912 ini kemudian masih dinyatakan berlaku sesuai dengan ketentuan peralihan yang terdapat dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 192 Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat danPasal 142 Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Pemberlakuan Auteurswet 1912 ini sudah barang tentu bersifat sementara.

            Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern dan menyatakan semua ketentuan hukum tentang hak cipta tidak berlaku lagi, agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karya asing tanpa harus membayar royalti. Dengan pertimbangan agar tidak menyulitkan Indonesia dalam pergaulan masyarakat internasional, sikap itu ditinjau kembali setelah Orde Baru berkuasa. Ketentuan lama zaman Belanda tentang hak cipta, yakni Auteurswet 1912 berlaku lagi.

            Setelah 37 tahun Indonesia merdeka, Indonesia sebagai negara berdaulat mengundangkan suatu Undang-Undang nasional tentang Hak Cipta, tepatnya tanggal 12 April 1982 mengundangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang dimuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15.

            UUHC 1982, setelah berjalan kurang lebih 5 tahun, menemui banyak permasalahan, terutama sebagai akibat kemajuan teknologi elektronik pada abad ke dua puluh ini, khususnya setelah adanya program computer sebagai perangkat lunak, merupakan hasil ciptaam yang memerlukan perlindungan hukum.[5]kemudian lahir Undang-undang Hak Cipta No.12 Tahun 1997 (UUHC 1997).UUHC 1997 lahir karena desakan dari dunia Internasional terutama dari Negara Amerika Serikat, Uni Eropa. Namun karena adanya perkembangan baru, dirasakan perlu untuk mengadakan perubahan-perubahan lagi dan penyempurnaan atas UUHC 1987.

            Penyempurnaan UUHC1987, dilaksanakan melalui UUHC 1997. Penyempurnan ini bertujuan untuk memyesuaikan UUHC tersebut dengan TRIPs, karena partisipasi Negara Indonesia sebagai salah satu Negara peserta Organisasi Perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO), yang memberikan konsekwensi bahwa Indonesia berkewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan di bidang Hak Kekayaan Intelektual dengan persetujuan Internasional. Kemudian pada tahun 2002 UUHC Kembali dirubah melalui Undang – undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 (UUHC2002). Penyempurnaan UUHC 2002 didasarkan pada berbagai pertimbangan yang pada intinya dimaksudkan lagi untuk lebih memberikan perlindungan kepada para pencipta dan pemegang hak terkait dengan keseimbangan untuk kepentingan masyarakat pada umumnya. Termasu dalam hal ini adalah untuk kepentingan masyarkat pada umumnya. Termasuk dalam hal ini adalah untuk mengakomodasi beberapa ketentuan dalam TRIPs dan WIPO yang belum dempat diakomodasi kedalam UUHC1997.  Setelah 12 tahun kemudian, kembali terjadi perbuhan terhadap UUHC. UUHC Nomor 19 tahun 2002 dianggap tidak berlaku lagi dengan hadirnya Undang-undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014



B.       Analisis  lahirnya UUHC No.28 Tahun 2014 sebagai Pengganti UUHC NO.19 Tahun 2002



1.      Definisi

            Melalui Pasal 1 UUHC No.28 tahun 2014, dapat kita lihat bahwa UUHC No.28 tahun 2014 memberikan definisi yang sedikit berbeda untuk beberapa hal. Selain itu, dalam bagian definisi, dalam UUHC No.28 tahun 2014 juga diatur lebih banyak, seperti adanya definisi atas “fiksasi”, “fonogram”, “penggandaan”, “royalti”, “Lembaga Manajemen Kolektif”, “pembajakan”, “penggunaan secara komersial”, “ganti rugi”, dan sebagainya. Dalam UUHC No.28 tahun 2014 juga diatur lebih detail mengenai apa itu hak cipta. Hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.

2.      Cara Pengalihan Hak

Sebagai benda bergerak, baik dalam UU 19/2002 dan UUHC No.28 tahun 2014 diatur mengenai cara mengalihkan hak cipta. Akan tetapi dalam Pasal 16 ayat (1) UUHC No.28 tahun 2014 ditambahkan bahwa hak cipta dapat dialihkan dengan wakaf.

Masih terkait dengan hak cipta sebagai benda bergerak, dalam UU 19/2002 tidak diatur mengenai hak cipta sebagai jaminan. Akan tetapi, dalam Pasal 16 ayat (3) UUHC No.28 tahun 2014 dikatakan bahwa hak cipta adalah benda bergerak tidak berwujud yang dapat dijaminkan dengan jaminan fidusia.



3.      Jangka Waktu

            Mengenai jangka waktu perlindungan hak cipta yang lebih panjang, dalam Pasal 29 ayat (1) UU 19/2002 disebutkan bahwa jangka waktu perlindungan hak cipta adalah selama hidup pencipta dan berlangsung hingga 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia, sedangkan dalam UUHC No.28 tahun 2014, masa berlaku hak cipta dibagi menjadi 2 (dua) yaitu masa berlaku hak moral dan hak ekonomi.

            Hak moral pencipta untuk (i) tetap mencantumkan atau tidak mencatumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum; (ii) menggunakan nama aliasnya atau samarannya; (iii) mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya, berlaku tanpa batas waktu (Pasal 57 ayat (1) UUHC No.28 tahun 2014). Sedangkan hak moral untuk (i) mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; dan (ii) mengubah judul dan anak judul ciptaan, berlaku selama berlangsungnya jangka waktu hak cipta atas ciptaan yang bersangkutan (Pasal 57 ayat (2) UUHC No.28 tahun 2014).

            Kemudian untuk hak ekonomi atas ciptaan, perlindungan hak cipta berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya (Pasal 58 ayat (1) UUHC No.28 tahun 2014). Sedangkan jika hak cipta tersebut dimiliki oleh badan hukum, maka berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman. Kemudian untuk ciptaan berupa karya seni terapan, perlindungan hak cipta berlaku selama 25 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman (Pasal 59 ayat (2) UUHC No.28 tahun 2014).



4.      Perlindungan yang lebih baik terhadap hak ekonomi para pencipta dan/atau pemilik hak terkait, termasuk membatasi pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus (sold flat);

      UUHC No.28 tahun 2014 ini juga melindungi pencipta dalam hal terjadi jual putus (sold flat). Ciptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, hak ciptanya beralih kembali kepada pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 tahun (Pasal 18 UUHC No.28 tahun 2014). Hal tersebut juga berlaku bagi karya pelaku pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, hak ekonomi tersebut beralih kembali kepada pelaku pertunjukan setelah jangka waktu 25 tahun (Pasal 30 UUHC No.28 tahun 2014).

5.      Larangan

            Hal lain yang menarik dari UUHC No.28 tahun 2014 ini adalah adanya larangan bagi pengelola tempat perdagangan untuk membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya (Pasal 10 UUHC No.28 tahun 2014). Dalam Pasal 114 UUHC No.28 tahun 2014 diatur mengenai pidana bagi tempat perbelanjaan yang melanggar ketentuan tersebut, yaitu pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

6.      Lembaga Manajemen Kolektif

            UUHC No.28 tahun 2014 juga terdapat  Lembaga Manajemen Kolektif yang sebelumnya tidak diatur dalam UUHC.No.12 tahun 2002. Lembaga Manajemen Kolektif adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti (Pasal 1 angka 22 UUHC No.28 tahun 2014).















C.    Arti Penting Hak Cipta Bagi Masyarakat Indonesia

            Dizaman modern saat ini dimana setiap unsur- unsur kehidupan bejalan cepat , serta melihat besarnya jumlah peduduk Indonesia yang mana tidak lepas dari nilai-nilai kebuadayaan yang bekembang seperti music, tari, seni satra, ukiran, lukisan, fotografi, teknologi, dan lain lain. Dari banyaknya karya cipta yang ada tentu bukan hanya sekedar hanya sesuatu yang lahir sesaaat namun juga datang dari suatu keinginan dan kerja keras dari pembuat atau penciptanya guna pembuktian akan ketekunan dan keinginan akan suatu yang berniali baik kepada  manusia, alam atau lingkunganya (bisa jadi lingkuangan adat). Hal hal besar , indah dan enuh nilai tersebut tentu saja perlu dilindungi, yang tentunya perlindungan terbesar adalah dari pemerintah agar tidak ditiru atau bahkan diaggap sebagai ciptaan orang atau kelompok lain.[6]

            Namun pada zaman yang modern saat ini masih banyak orang yang belum memahami akan pengertian dan pentinganya hak cipta. Dalam penerapanya tentu masih banyak ditemukan pelanggaran pelanggaran yang dilakukan oleh oknum oknum baik perorangan atau kelompok yang baik secara sengaja atau tidak telah mengambil hak orang lain dalam hal ini ialah hak cipta yang besar, indah dan bernilai. Banyak penyebab yang menjadikan penjiplakan , peniruan atau pembajakan terjadi berikut beberapa factor peyebab-penyebab terjadinya antara lain ;[7]

  1. Kuranganya kesadaran masyarakan akan pentingnya hak cipta.
  2. Kurangnya sosialisasi serta perlindungan pemerintah akan pentiganya hak cipta, sehingaa banyak masyarakat melakukan pembajakan terutama karena faktor ekonomi.
  3. Kemudahan akses yang semakin terbuka.

            Dengan faktor-faktor diatas , terutama dengan factor ekonomi yang menjadi landasan, maka pelanggaran-pelanggaran akan HAKi di Indonesia ini berkembang subur terutama dikalangan menengah bawah, sebagai contoh kongkrit pada saat ini banyak penjual kaset CD/DVD yang marak di tiap area keramain baik pasar, station atau bahkan dijual dengan cara berkeliling, contoh lain mudahnya akses internet yang membuat segala informasi akan cara dan tempat guna meniru atau memperbanyak hasil karya seseorang atau kelompok dengan amat sangat mudah, contoh konkrit lain yang cukup meresahkan masyarakat Indonesia belakangan ini yakni dimana beberapa tarian dan lagu daerah yang dibajak atau diakui sebagai hasil kaya budaya Negara lain, hal ini tentu amat sangat disayangkan. Meskipun undang-undang telah ada dan dibuat hal itu sepertinya tidak membuat para pelaku pembajakan jera.

            Selain daripada itu di dalam undang undang hak cipta diterangakan bahwa Hak Cipta adalah mutlak, hal ini berarti hak-hak tersebut selain kepentingan pribadi juga memperhatikan kepentingan umum. Tentu hal ini penting untuk di ketahui oleh masyarakat banyak bahwa tidak setiap ciptaan dapat dijadikan hak cipta tentu juga bila ciptaan menggangu atau meresahkan masyarakat ciptaan tersebut tidak bisa dianggap sebagai bagian dari ciptaan yang dilindungi dalam hal ini oleh instansi atau pemerintah.

            Hasil pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa memang penerapan Hak Cipta di Indonesia masih cukup relatif lemah  dengan teleh memasyarakatnya pembajakan serja juga lemahnya peranan pemeritah akan perlindungan akan hasil karya cipta baik yang terlahir dari budaya, perorangan atau kelompok.

























           

PENUTUP

            Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

            Secara yuridis formal Indonesia diperkenalkan dengan masalah hak cipta pada tahun 1912, yaitu pada saat diundangkannya Auteurswet (Wet van 23 September 1912, Staatblad 1912 Nomor 600), yang mulai berlaku 23 September 1912. Kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Setelah lima tahun, UUHC kembali dirubah melalui Undang-undang Hak Cipta No.12 Tahun 1997. Kemudian UUHC kembali menaglami perubahan dengan lahirnya Undang – undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002. Hingga tahun 2014 UUHC Tahun 2002 tersebut kemudian diganti dengan Undang-undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014.

            Dalam pelaksanaannya hak cipta di Indonesia masih banyak menemui permasalahan-permasalahan mulai dari pembajakan, klaim terhadap hak cipta milik orang lain dan persoalan-persoalan lain yang hingga saat ini masih belum memiliki solusi yang konkret.



DAFTAR PUSTAKA



Ajip Rasidi.1984. Udang-Udang Hak Cipta 1982, Pandangan Seorang Awam,      Djambatan, Jakarta,

Husain Audah 2004, Hak Cipta & Karya Cipta Musik, PT. Pustaka Litera Antara   Nusa, Bogor

Harris Munandar dan Sally Sitanggang.Mengenal HAKI (Hak Kekayaan     Intelektual : Hak Cipta, Paten, Merek dan Seluk- beluknya)

Anonim.2014.Penerapan Hak Cipta di Indonesia,     https://wekojati.wordpress.com/2014/04/12/penerapan-hak-cipta-di-           indonesia/, diakses pada 19 november 2016 pukul 19:25 WITA




[1] Ajip Rasidi,1984, Udang-Udang Hak Cipta 1982, Pandangan Seorang Awam, Djambatan, Jakarta, hal 3.
[2] Husain Audah 2004, Hak Cipta & Karya Cipta Musik, PT. Pustaka Litera Antara Nusa, Bogor, hal 6.
[3] Harris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HAKI (Hak Kekayaan Intelektual : Hak Cipta, Paten, Merek dan Seluk- beluknya), hlm.21.  
[4] Ibid

[6] Anonim,2014,Penerapan Hak Cipta di Indonesia, https://wekojati.wordpress.com/2014/04/12/penerapan-hak-cipta-di-indonesia/, diakses pada 19 november 2016 pukul 19:25 WITA
[7] ibid

0 komentar :

Posting Komentar