Januari 18, 2018
rglang851.blogspot.com
Pendahuluan
Masyarakat hukum adat merupakan bagian dari masyarakat
Indonesia. Perlu diingat bahwa sebelum terbentuknya wilayah nusantara
(Indonesia), sebagai sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia, masyarakat
hukum adat telah lahir dan tumbuh. Sujoro Wignjodipuro2 mengatakan bahwa
masyarakat hukum adat sebelum kemerdekaan telah hidup berdampingan dengan
Hindia Belanda, pada saat itu pemerintah Hindia Belanda mengakui dan mengatur
masyarakat hukum adat dalam pemerintahan otonomi serta madebewind-nya.
Pasca kemerdekaan, masyarakat hukum adat bahkan diakui dengan dimasukkannya
dalam penjelasan UUD 1945(sebelum amandemen) dalam penjelasannya menyatakan
bahwa: “Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende
landschappen danvolkgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali,
nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya”.
Daerah-daerah tersebut mempunyai
susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat
istimewa.3 Pasca amandemen UUD 1945, masyarakat hukum adat diakomodir dalam
Pasal 18B ayat (2) yang mengatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adatserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Dimasukkannya masyarakat hukum
adat dalam UUD 1945 merupakan wujud dari pengakuan negara terhadap eksistensi
masyarakat hukum adat. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi
Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi dan
Budaya. Oleh karena itu, maka negara mempunyai kewajiban dalam rangka to
respect, to protect dan to fulfill atas hak tersebut dalam hal ini adalah
untuk respect, protect dan fulfill terhadap hakhak masyarakat
hukum adat. Salah satu bentuk nyata dari hak masyarakat hukum adat adalah hak
kepemilikan terhadap tanah adat atau yang sering disebut dengan ‘hak ulayat’.
Konstitusi
sebagai sumber hukum tertinggi memberikan pengakuan terhadap hak masyarakat
hukum adat atas hutan adatnya. Pengakuan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 18B
ayat (2) UUD Tahun 1945. Namun pengakuan hak masyarakat hukum adat yang ada
dalam Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 merupakan pengakuan bersyarat, yaitu
”sepanjang kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya masih
hidup”.Pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat atas hutan adatnya
mendapatkan penguatan dengan dikabulkannya judicial review atas
ketentuan hutan adat yang ada dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 terhadap
UUD Tahun 1945. Dalam putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, MK berpendapat bahwa
masyarakat hukum adat secara konstitusional diakui dan dihormati sebagai subyek
hukum yang dapat menyandang hak dan dibebani kewajiban. Sebagai subyek hukum,
masyarakat hukum adat harus mendapat perhatian seperti halnya subyek hukum yang
lain ketika hukum hendak mengatur pengalokasian sumber-sumber kehidupan,
termasuk hutan. Namun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 memperlakukan
masyarakat hukum adat terkait hutan berbeda dengan subyek hukum lainnya yaitu
negara dan pemegang hak atas tanah. Hak subyek hukum yang lain atas hutan
dalamUndang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 cukup jelas, sementara hak masyarakat
hukum adat tidak jelas.
Dengan perlakuan berbeda tersebut, masyarakat hukum adat
secara potensial atau bahkan dalam kasus-kasus tertentu secara factual
kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam untuk kehidupannya,
termasuk hak tradisionalnya sehingga masyarakat hukum adat mengalami kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan sebagai sumbernya. Bahkan
seringkali hilangnya hak masyarakat hukum adat dimaksud dengan cara
sewenang-wenang sehingga tidak jarang menyebabkan terjadinya konflik yang
melibatkan masyarakat dan pemegang hak. Tidak diakuinya hak masyarakat hukum
adat secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
mengakibatkan masyarakat hukum adat berada dalam posisi yang lemah ketika
berhadapan dengan negara dengan hak menguasai yang sangat kuat. Penguasaan
negara atas hutan seharusnya dipergunakan untuk mengalokasikan sumber daya alam
secara adil untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat. Berpijak pada pendapatnya tersebut dan
mengingat Konstitusi juga telah memberikan pengakuan dan perlindungan atas
keberadaan hutan adat dalam kesatuan dengan wilayah hak ulayat suatu masyarakat
hukum adat maka MK berpendapat bahwa menempatkan hutan adat sebagai bagian dari
hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Puncak
penolakan adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 diajukan judicial review ke
MK oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum
Adat Kenegerian Kuntu Kabupaten Kampar Provinsi Riau, dan Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat Kasepuhan Cisitu Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Atas gugatan
tersebut, pada tanggal 16 Mei 2013, dalam Putusan MK. Nomor 35/ PUU-X/2012, MK
memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, yang intinya
adalah hutan adat tidak lagi berstatus sebagai hutan negara, melainkan
berstatus sebagai hutan hak.
Putusan
MK Nomor 35/PUU-X/2012 ini dikhawatirkan dapat menimbulkan masalah, diantaranya
adanya upaya dari sebagian kalangan masyarakat untuk memperjelas batas-batas
wilayah adat di lapangan secara fisik dan mengambil alih tanah-tanah adat yang
diatasnya sudah diberikan izin kepada pihak ketiga sehingga dapat memicu
terjadinya konflik sosial. Selain itu juga muncul berbagai isu hukum yang belum
dapat terjawab, diantaranya identifikasi masyarakat hukum adat, batasan
kewenangan masyarakat hukum adat dalam mengelola hutan adatnya yaitu sejauhmana
masyarakat hukum adat dapat mengalihkan atau menyewakan hutan adatnya kepada
pihak laindan dengan mekanisme seperti apa, sejauhmana kewenangan masyarakat
hukum adat untuk dapat mengalihkan hutan adatnya menjadi non hutan, dan
bagaimana bentuk formal pengakuan negara atas hutan adat yang dimiliki oleh
masyarakat hukum adat.
Masalah
lainnya adalah kelestarian hutan adat dikhawatirkan dapat terancam karena hutan
adat beralih fungsi dari hutan lindung menjadi lahan yang diusahakan oleh
masyarakat hukum adat seperti pertanian atau perkebunan. memanfaatkan hutan
adatnya secara optimal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hutan adat tidak lagi
berstatus sebagai hutan negara, melainkan berstatus sebagai hutan hak.
Pembahasan
1.
Hutan Adat dan Masyarakat Hukum Adat
Sesuai
dengan hukum positif Indonesia yang terkait dengan hutan, Indonesia membagi
hutan ke dalam tiga jenis. Sebagian di antara hutan-hutan Indonesia merupakan
hutan negara, adapula yang merupakan hutan hak, dan sebagiannya berada dalam
wilayah masyarakat hukum adat. Menurut Undang-Undang RI No. 41 Tahun 1999
tentang kehutanan, Hutan Negara adalah adalah hutan
yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
Sementara, Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas
tanah.
Adapaun Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat.
Walau istilah Masyarakat Adat berdimensi lebih luas, tetapi
Perundang-udangan menggunakan istilah Masyarakat Hukum Adat. Menurut pakar
hukumadat, ciri-ciri Masyarakat Hukum Adat (adatrechtsgemenschap):
1.
Adanya
kesatuan manusia yang teratur;
2.
Menetap di
suatu daerah tertentu;
3.
Mempunyai
penguasa-penguasa;
4.
Mempunyai
kekayaan materiil (berwujud) & immaterial (tidak berwujud);
5.
Memiliki
sistem nilai dan kepercayaan;
6.
Memiliki
tatanan hukum sendiri.
Di samping itu secara yuridis
operasional pengakuan masyarakat hukum adat mendapat landasan hukum dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
dalam Pasal 3, pada intinya menentukan “... pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara...”.
Selain itu Undang- Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam Pasal 67 juga memberikan pengakuan terhadap
masyarakat hukum adat. Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat diperkuat
pula dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam
Pasal 2 ayat (9), ditentukan bahwa negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, “Masyarakat Adat adalah
Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun
temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas
tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang
mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya". Adapun terkait haknya,
Prof. juned mengemukakan bahwa hak masyarakat hukum adat adalah :
1.
Menjalankan
sistem pemerintahan sendiri;
2.
Menguasai
dan mengelola sumberdaya alam dalam wilayahnya terutama untuk kemanfaatan
warganya;
3.
Bertindak
ke dalam mengatur dan mengurus warga serta lingkungannya. Ke luar bertindak
atas nama persekutuan sebagai badan hukum;
4.
Hak ikut
serta dalam setiap transaksi yang menyangkut lingkungannya,
5.
Hak
membentuk adat;
6.
Hak
menyelenggarakan sejenis peradilan.
Masyarakat hukum
adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaananya,berhak:
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk
pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyrakat adat yang bersagkutan;
b. Melakukan kegiatan pengeloaan hutan yang
berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
Undang-undang;
c. Mendapatka pemberdayaan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraanya.
Menurut Raden
(2003), Prinsip-prinsip pengelolaan hutan adat antara lain:
1)
Masih hidup selaras alam dengan menaati
mekanisme ekosistem di masa manusia merupakan bagian dari ekosistem yang harus
dijaga keseimbangannya, adanya hak penguasaan dan kepemilikan bersama komunitas
(conamal tenure “property” rights) atas suatu kawasan hutan adat masih
bersifat eksklusif sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan
dari kerusakan.
2)
Adanya
sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan (pemerintah adat yang memberikan
kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan secara bersama masalah-masalah yang
mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, ada sistem pembagian kerja
dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari
penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar.
3)
Ada
mekanisme pemerataan distribusi hasil panen sumberdaya alam milik bersama yang
meredam kecemburuan sosial di tangan masyarakat.
Dengan
merujuk pada struktur organisasi pengelolaan hutan adat, secara garis besar
aktivitas pengelolaan kawasan dibagi ke dalam tiga macam, yaitu : (1)
Pengaturan, yaitu serangkaian aktivitas yang dilakukan dalam rangka
mempertahankan fungsi-fungsi keruangan hutan adat yang telah disepakati.
Aktivitas ini dilandasi oleh prinsip bahwa hutan adat harus diatur sedemikian
rupa untuk memberikan arah pengelolaan yang jelas yang berorientasi terhadap
upaya mempertahankan fungsi, (2) Perlindungan, yaitu serangkaian aktivitas
pengamanan kawasan dari gangguan dan tekanan dari dalam dan luar desa.
Aktivitas ini dilandasi prinsip bahwa hutan adat harus memuat kaidah-kaidah
konservasi yang mampu mempertahankan keanekaragaman flora dan fauna terutama
yang tergolong langka dan aspek mempertahankan daya dukung terhadap kualitas lingkungan,
dan (3) Pemanfaatan, yaitu serangkaian aktivitas mengendalikan aspek
pemanfaatan produk kawasan untuk kepentingan bersama warga desa. Aktivitas ini
dilandasi prinsip bahwa pengelolaan hutan adat harus memberikan manfaat bagi
seluruh komponen masyarakat desa. Untuk itu dalam pengelolaan hutan desa harus
membuka akses yang seluas-luasnya bagi pihak yang ingin memanfaatkan dengan
pengaturan pola pemanfaatan secara khusus yang memperhatikan aspek kelestarian
dan keberlanjutan
2. Identifikasi
Peraturan Perundangan terkait Pengelolaan Hutan Adat
Hasil identifikasi terhadap pertauran
perundang-undangan terkait pengelolaan hutan adat menunjukkan ada yang berupa
undang-undag (UU) dan peraturan pemerintah (PP). Namun, dalam pembahasan dikaji
terkait UU sebagaimana yang yang tercantum dibawah ini.
No
|
Jenis peraturan perundangan (Type of regulations)
|
Perihal
(Reference)
|
Substansi
pengaturan (Regulation content)
|
1
|
UU No. 5 Tahun
1967
|
Ketentuan-KetentuanPokok Kehutanan
|
Hutan
marga yang dikuasai masyarakat hukum adat
(MHA) termasuk dalam
hutan negara dengan tidak
meniadakan hak-hak MHA yang bersangkutan dan anggota-anggotanya untuk
mendapatkan manfaat dari hutan tersebut sepanjang hak-hak itu menurut kegiatannya masih ada (Pa-sal 2)
|
|
UU No. 5 Tahun
1960
|
Dasar-Dasar PokokAgraria
|
Hak-hak
adat yang mencakup tanah, air dan
udara diakui sejauh tidak bertentangan dengan kepen- tingan nasional (Pasal 5)
|
|
UU No. 41 Tahun 1999
|
Kehutanan
|
-
Hutan adat ditetapkan sepanjang menurut ke- nyataannya MHA
yang bersangkutan masih
ada dan
diakui keberadaannya (Pasal 5).
-
Memberi kesempatan kepada masyarakat hu- kum adat, lembaga pendidikan, lembaga peneli- tian dan lembaga sosial dan keagamaan dalam pengelolaan hutan dengan
tujuan khusus (Pasal 34)
-
Pengukuhan
dan keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan peraturan daerah, tetapi penetapan hutan adat merupakan
kewenangan menteri (Pasal 67)
|
|
UU
no.22 tahun 2001
|
MIGAS
|
Kegiatan usaha migas tidak dapat dilaksanakan pa- da tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat, sarana dan prasarana umum, cagar
alam, cagar budaya serta tanah milik
masyarakat adat (Pasal 33)
|
|
UU
No. 27 Tahun 2003
|
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pu- lau Kecil
|
- Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat
pe-sisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena
adanya ikatan asal-usul
leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan
sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau ke- cil, serta
adanya sistem nilai yang menentukan pranata
ekonomi, politik, sosial
dan hukum (Pa- sal 1, angka 35)
- Masyarakat
lokal adalah kelompok masyarakat yang menjalankan tata kehidupan berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai
nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak
sepenuhnya
ter-gantung pada sumberdaya pesisir dan
pulau- pu-lau
kecil tertentu ( Pasal1, angka 35)
- Masyarakat
tradisional adalah masyarakat per- ikanan
tradisonal yang masih diakui hak tradi- sionalnya
dalam melakukan kegiatan penang- kapan ikan atau
kegiatan lainnya yang
sah di da- erah tertentu yang berada dalam perairan kepu-
lauan sesuai dengan kaidah hukum laut
(Pasal 1, angka 35)
- MHA dapat memegang atau dapat diberikan hak penguasaan perairan pesisir (HP3) (Pasal 18)
|
|
UU.No.32 tahun 2009
|
Perlindungan dan
Pe- ngelolaan Lingkungan Hidup
|
MHA adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis ter- tentu karena adanya ikatan pada
asal-usul leluhur, adanya
hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup,
serta adanya sistem
nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum
|
3. Implikasi
lahirnya Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012
Setelah keluarnya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 , hutan berdasarkan statusnya sebagai berikut: “Hutan
adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Kata “negara” dihapuskan oleh MK sehingga bunyi Pasal 1 angka 6 menjadi
sebagai berikut: “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat”.
Dalam pertimbangannya, MK menegaskan
bahwa “.... hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua yaitu hutan
negara dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan adat dan hutan
perseorangan/badan hukum. Ketiga status hutan tersebut pada tingkatan yang
tertinggi seluruhnya dikuasai oleh Negara”. Kemudian lebih lanjut
disebutkan dalam Pasal 5 Ayat (1) : “hutan berdasarkan statusnya terdiri
dari: a. hutan Negara; b. hutan hak.”
Menurut Mahkamah Konstitusi,
ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 secara
bersyarat (conditionally unconstitutional), sehingga tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa “Hutan negara sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”.
Dengan demikian, status hutan adat
menurut UU No. 41 Tahun 1999 di bagi menjadi dua, yaitu:
1.
Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah
yang tidak dibebani hak atas tanah.
2.
Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah
yang dibebani hak atas tanah. Hutan hak dibedakan menjadi dua yaitu hutan adat
dan hutan perseorangan/badan hukum.
Implikasi
yuridis dari lahirnya Putusan MK ini adalah yang Pertama, negara tidak lagi diperbolehkan mengambil alih hak
masyarakat hukum adat atas hutan adat yang mereka kelola kecuali dengan alasan
apabila dibutuhkan untuk pembangunan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam
UU Nomor 2 tahub 2012 maupun peraturan presiden yang mengatur masalah pengadaan
tanah untuk kepentingan umum. Kedua,
Spesifik megenai hutan adat, bahwa pasca adanya putusan MK No.35/PUU-X/2012
maka kedudukan hutan adat bukan lagi sebagai hutan negara,melainkan sebagai
hutan hutan serupa dengan hutan hak yakni hutan yag dilekati hak masyarakat
hukum adat. Ketiga,bahwa hutan adat
adalah hutan yang berada dalam wilayah hak ulayat sehingga pemerintah sudah
semstinya menghormati wilayah yurisdiksi masyarakat hukum adat.
Pengakuan
MK terhadap hak masyarakat hukum adat atas hutan adatnya mendapat sambutan baik
dari sebagian kalangan masyarakat yang menaruh perhatian terhadap pengakuan dan
perlindungan hak masyarakat hukum adat. Mereka menganggap putusan MK sebagai
kemenangan besar dari perjuangan panjang masyarakat hukum adat atas hutan
adatnya yang selama ini sering diabaikan oleh negara.
a.
Implikasi
Positif Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 sebagai berikut:
1)
Adanya pengakuan
negara terhadap hak masyarakat hukum
adat;
2)
Adanya
fasilitasi pemerintah atas pemberdayaan masyarakat hukum adat;
3)
Pelestarian dan
memajukan adat dan tradisi budaya masyarakat hukum adat;
4)
Masyarakat hukum
adat menjadi subyek pembangunan nasional;
5)
Ada pemisahan
antara hutan adat dengan kawasan hutan yang dikelola Kementerian Kehutanan.
Namun
seperti halnya Konstitusi, pengakuan MK terhadap hak masyarakat hukum adat atas
hutan adatnya juga merupakan pengakuan bersyarat, yaitu ”sepanjang kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”.
Persyaratan tersebut dapat dilihat dalam amar putusan MK terkait Pasal 5 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. MK menyatakan bahwa frasa ”dan ayat (2)”
dalam Pasal 5
ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 menjadi ”Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”.
Berdasarkan
Penjelasan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, masyarakat
hukum adat diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur-unsur
antara lain:
a)
masyarakatnya
masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b)
ada wilayah
hukum adat yang jelas;
c)
ada pranata dan
perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan
d)
masih mengadakan
pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari.
b.
Implikasi Negatif Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012
Putusan
MK Nomor 35/PUU-X/2012 menguatkan pengakuan dan perlindungan negaraterhadap hak
masyarakat hukum adat atas hutanadatnya. Namun dari hasil penelitian, Putusan
MK Nomor 35/PUU-X/2012 juga dapat menimbulkan berbagai implikasi negatif.
Putusan MK Nomor35/PUU-X/2012 dapat memicu terjadinya konflik antara masyarakat
hukum adat dengan pelaku usaha yang memanfaatkan hutan adatnya, misalnya
perusahaan perkebunan. Konflik terjadi karena masyarakat hukum adat merasa
mendapatkan legitimasi untuk menuntut perusahaan perkebunan mengembalikan atau
membayar sejumlah uang sebagai imbalan atau ganti atas penggunaan kawasan
wilayah hukum adatnya.
Pada
tataran praktik, tuntutan masyarakat hukum adat tidak hanya terjadi pasca
Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, melainkan telah terjadi sebelum Putusan MK
Nomor 35/PUU-X/2012. Tuntutan tersebut biasanya muncul karena perusahaan
perkebunan tidak mensosialisasikan dan mengkomunikasikan usahanya kepada
masyarakat hukum adat pada saat akan memulai usaha, tidak meminta izin pada
masyarakat hukum adat, tidak membayar uang tumbuh sebagai ganti rugi dari
kawasan hutan adat yang diusahakannya, dan/atau tidak menepati janji-janjinya
kepada masyarakat hukum adat, misalnya janji untuk membangun tempat ibadah,
jalan, dan sebagainya. Bahkan tuntutan tersebut bisa saja muncul meskipun uang
ganti tumbuh telah diberikan karena ada warga masyarakat hukum adat atau
keturunan dari tetua adat yang merasa belum menerimanya.
Tidak
jarang tuntutan masyarakat hukum adat berakhir dengan konflik jika tidak dipenuhi
perusahaan perkebunan. Alasan perusahaan perkebunan menolak tuntutan masyarakat
hukumadat adalah kawasan yang diusahakannya masuk dalam wilayah izin (konsesi)
yang diberikan kepadanya, dan masyarakat hukum adat tidak dapat menunjukkan
bukti legal formal bahwa kawasan tersebut masuk dalam wilayah adatnya. Sebagai
contoh konflik yang terjadi di Riau adalah konflik antara perusahaan perkebunan
negara (PTPN V) dengan masyarakat hukum adat di Kabupaten Kampar-Riau,
sementara di Papua contohnya adalah konflik antara PTPN II (perusahaan
perkebunan kelapa sawit) dengan masyarakat hukum adat di Kabupaten
Keerom-Papua, dan juga konflik antara PT. Sinar Mas (perusahaan perkebunan)
dengan masyarakat hukum ada.30
Sehubungan dengan hal ini, perda penetapan masyarakat hukum adat yang
disertai dengan peta wilayah adatnya dirasa penting untuk dapat menjadi bukti
keberadaan suatu masyarakat hukum adat.
Implikasi
negatif lainnya yang dikhawatirkan terjadi dengan adanya Putusan MK Nomor
35/PUU-X/2012 adalah tanah ulayat dimana hutan adat tumbuh dijual kepada pihak
ketiga untuk memenuhi desakan kebutuhan hidup, apalagi jika melihat kondisi
ekonomi masyarakat hukum adat khususnya di Papua yang cukup minim. Tanah ulayat
yang dijual adalah kawasan tanah ulayat yang diserahkan kepada seorang anggota
masyarakat hukum adat untuk dikuasai dan dikelola guna memenuhi kebutuhan
hidup. Penjualan tanah ulayat dilakukan tanpa sepengetahuan ketua adat atau pun
persetujuan dari aggota masyarakat hukum adat lainnya sehingga dapat menimbulkan
konflik antara pembeli dengan masyarakat hukum adat yang tidak mengetahui jual
beli dimaksud. Selain faktor ekonomi, jual beli tanah ulayat dapat terjadi
karena bujukan dari investor kepada para tetua adat untuk menjual tanah
ulayatnya apalagi jika investor tersebut kesulitan untuk mendapatkan izin
kawasan dari pemerintah daerah setempat untuk melakukan suatu kegiatan usaha.31
Namun baik di Provinsi Riau maupun di Papua, sampai saat penelitian ini
dilakukan belum ada pihak mana pun yang membuat sertifikat jual beli tanah
ulayat. Bahkan sebagai upaya untuk mencegah penjualan tanah ulayat, suatu
masyarat hukum adat di Kabupaten Kampar-Riau telah mengirim surat kepada Kantor
Pertanahan Kabupaten Kampar untuk tidak mengizinkan atau mencegah jika ada
pihak yang menjual atau membeli tanah ulayat masyarakat hukum adat dimaksud.
Putusan
MK Nomor 35/PUU-X/2012 juga dikhawatirkan dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan hutan adat sehingga kelestarian hutan adat terancam. Kerusakan hutan
adat yang disebabkan masyarakat hukum adat bisa terjadi karena penebangan pohon
tidak sesuai aturan, penjualan kayu hutan, hutan beralih fungsi menjadi lahan
pertanian, dan sebagainya. Namun sebagaimana dikemukakan oleh Yance Tandong,
kekhawatiran tersebut tidak perlu terjadi. Kerusakan hutan justru kebanyakan
disebabkan oleh perusahaanperusahaan besar yang melakukan penebangan pohon di
hutan, baik untuk pembukaan perkebunanyang membutuhkan kawasan yang cukup luas
maupun sebagai akibat illegal logging. Senada dengan Yance Tandong,
Masriadi juga mengemukakan sampai saat ini tidak pernah terjadi kerusakan hutan
yang disebabkan oleh masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat umumnya
memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian hutan adatnya mengingat hutan adat
sangat penting fungsinya bagi mereka. Warga masyarakat hukum adat juga takut
menebang pohon sembarangan di hutan adat karena percaya bahwa hutan adat
memiliki nilai sakral sehingga takut mendapat petaka jika menebangnya. Selain
itu juga terdapat hukum adat yang ditaati dan benar-benar ditegakkan dengan
baik sehingga hutan adat akan terjamin kelestariannya. Sebagai contoh hutan
Rumbio di Kabupaten Kampar-Riau yang kelestariannya terjaga hingga saat ini,
bahkan Masriadi telah mendapat penghargaan Kalpataru sebagai bentuk apresiasi
negara terhadapnya yang telah berhasil menjaga kelestarian hutan adat Rumbio.
Dalam
hukum adat, penebangan pohon hanya boleh dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan
jumlahnya tidak terlalu banyak, misalnya untuk membangun rumah bagi warga
masyarakat hukum adat yang tingkat perekonomiannya minim. Penebangan pohon itu
pun dilakukan setelah mendapat ijin dari ketua adat. Pelanggaran terhadap
ketentuan hukum adat tersebut dikenai denda 10 kali lipat dari harga pohon yang
ditebangnya. Uangdenda masuk ke kas adat dan digunakan untuk kemanfaatan dan
kesejahteraan bersama, misalnya untuk membiayai acara adat, santunan bagi
keluarga dari warga masyarakat hukum adat yang meninggal dunia, membangun
sarana bersama, dan sebagainya. Warga masyarakat hukum adat pada umumnya hanya
memanfaatkan hasil hutan, misalnya memungut kayu atau ranting yang telah jatuh
untuk kayu bakar, mengambil rotan untuk kerajinan, menangkap ikan di sungai,
dan sebagainya.
Putusan
MK Nomor 35/PUU-X/2012 juga menimbulkan adanya dualisme hukum yang mengatur
hutan adat yaitu hukum nasional (Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999) dan hukum
adat. Dualisme tersebut tidak akan menimbulkan masalah jika hukum adat selaras
dengan hukum nasional. Permasalahan muncul jika hukum adat tidak sejalandengan
hukum nasional karena akan menimbulkan dilema yaitu hukum mana yang akan
diberlakukan. Sebagai contoh, penebangan pohon dalam hukum adat dikenai denda
yang besarnya 10 kali lipat dari harga pohon yang ditebang, sementara ketentuan
penebangan pohon tanpa izin yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 diancam dalam Pasal 78 ayat (5) Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp5.000.000.000 (lima milyar rupiah).
Pada tataran
praktik, untuk kasus dualism hukum yang demikian yang diberlakukan oleh
instansi yang berwenang adalah hukum nasional apalagi belum ada perda penetapan
masyarakat hukum adat (termasuk hutan adat) yang membuktikan bahwa hutan
dimaksud adalah hutan adat yang notabene hukum adat juga berlaku di kawasan
hutan adat. Berlakunya hukum nasional semakin kuat apalagi hukum adat dalam
bentuknya yang tidak tertulis semakin pudar dan kurang dikenal oleh generasi
muda penerus masyarakat hukum adat. Untuk itu, tokoh adat diantaranya tokoh
adat di Kenegerian KuntuKabupaten Kampar-Riau akan mengupayakan untuk
menaskahkan peraturan adat sehingga dapat diwariskan dengan mudah ke generasi
penerus. Salah satu peraturan adat yang telah disahkan adalah Peraturan Adat
tentang Hutan Larangan
c.
Upaya Pemerintah untuk Mencegah Implikasi Negatif
Sehubungan
dengan adanya berbagai implikasi negatif dari Putusan MK Nomor
35/PUU-X/2012, maka perlu ada upaya dari pemerintah untuk mencegah
dan/atau mengatasi implikasi negative tersebut. Upaya yang telah
dilakukan oleh pemerintah diantaranya adalah menindaklanjuti Putusan
MK Nomor 35/PUU-X/2012 dengan membentuk peraturan perundang-undangan
untuk melaksanakannya, yaitu:
1.
Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.62/ Menhut-II/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.
2.
Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. 36 Para tokoh adat tersebut
adalah Masriadi dan Arisman, keduanya adalah pengurus Yayasan Pelopor Sehati
Yayasan Lingkungan dan Penguatan Kapasitas Masyarakat Hukum Adat Anak Ninik
Mamak dari Kenegerian Kuntu-Riau. Tokoh adat lainnya adalah Kay Handrik, Datuk
dari masyarakat hukum adat Kenegerian Kuntu-Riau, disampaikan pada FGD tentang
“Pelaksanaan Putusan MK Nomor 35/ PUU-X/2012”, di Kantor AMAN Riau, 11
September 2014.
3.
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri RI,
Menteri Kehutanan RI, Menteri Pekerjaan Umum RI, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional
RI Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/ Menhut-11/2014, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor
8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di
Dalam Kawasan Hutan
4.
Saat ini juga
telah disusun RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat.
4. Penguasaan dan Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat Hukum Adat
Pengelolaan hutan secara tradisional
oleh masyarakat hukum adat sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat adat Wehean
Dayak, masyarakat Badui di Banten, masyarakat adat Rimbo Temedak,
Masyarakat adat Kajang di Bulukumba serta masyarakat hukum adat lainnya
masih menunjukkan indikasi kelestarian hutan. Pengelolaan hutan oleh masyarakat
hukum adat menunjukkan adanya ikatan yang kuat antara masyarakat dengan
sumberdaya alam terutarna hutan, serta adanya kearifan terhadap lingkungan.
Pertambahan
lahan kritis merupakan indiksai bahwa pembangunan sektor kehutanan tidak dapat
dilaksanakan sendiri oleh departemen kehutanan tapi harus melibatkan pihak yang
juga berkepentingan terhadap hutan, salah satunya masyarakat beserta kearifan
lokalnya. Karena itu, pemerintah harus mengakmodir kepentingan masyarakat yang berkaitan
dengan kearifannya.
Hutan adat adalah kawasan hutan
yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Pada umumnya
komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa
manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga
keseimbangan dan harmoni. Penghancuran pranata-pranata adat dalam pengelolaan
hutan adat secara sistematis lewat berbagai kebijakan dan hukum yang
dikeluarkan Rejim Pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 3 dasawarsa tidak
sepenuhnya berhasil. Banyak studi yang telah membuktikan bahwa sebagian besar
masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya
alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan
berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat.
Ada beberapa alasan kuat yang
melandasi betapa pentingnya peran masyarakat adat dalam pengelolaan hutan saat
ini dan terutama di masa depan, yaitu bahwa:
1) Masyarakat
adat memiliki motivasi yang kuat sebagai penerima insentif yang paling bernilai
untuk melindungi hutan dibandingkan pihak-pihak lain karena menyangkut
keberlanjutan kehidupan mereka.
2) Masyarakat
adat memiliki pengetahuan asli bagaimana memelihara dan memanfaatkan sumberdaya
hutan yang ada di dalam habitat mereka.
3) Masyarakat
adat memiliki hukum adat untuk ditegakkan.
4) Masyarakat
adat memiliki kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis antara mereka
dengan ekosistem hutannya.
5) Sebagian
dari masyarakat adat sudah memiliki organisasi dan jaringan kerja untuk
membangun solidaritas di antara komunitas-komunitas masyarakat adat, dan juga
mengorganisasikan dukungan politis dan teknis dari pihak-pihak luar.
6) Masyarakat
adat dilindungi UUD 1945 yang mengharuskan negara mengakui, menghormati dan
melindungi hak-hak tradisional (hak-hak asal usul, menurut penjelasan Pasal 18
UUD 1945 sebelum diamandemen), dan diposisikan sebagai Hak Azasi Manusia (HAM)
baik dalam Pasal 28 I ayat (3) sesuai dengan standar HAM dalam berbagai
instrumen internasional.
Penghujung
2016 tepatnya 30 Desember menjadi hari yang membahagiakan bagi masyarakat hukum
adat di sembilan lokasi, karena Presiden Joko Widodo resmi memberikan pengakuan
hutan adat kepada mereka dengan total seluas 13.122,3 hektare. Masyarakat Hukum
Adat (MHA) yang tersebar di sejumlah daerah di tanah air mendapatkan pengakuan
atas Hutan Adatnya dari pemerintah. Surat Keputusan Pengakuan Hutan Adat itu
diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada Jumat 30 Desember 2016 pagi
di Istana Negara, Jakarta.
Adapun
daftar kesembilan komunitas Masyarakat Hukum Adat yang memperoleh Surat
Keputusan Pengakuan Hutan Adat itu adalah:
1) Hutan
Adat Desa Rantau Kermas (130 Ha) Kabupaten Merangin Provinsi Jambi (MHA Marga
Serampas)
2) Hutan
Adat Ammatoa Kajang (313 Ha) Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan (MHA
Ammatoa Kajang);
3) Hutan Adat Wana Posangke (6.212 Ha) Kabupaten
Morowali Utara Provinsi Sulawesi Tengah (MHA Lipu Wana Posangke);
4) Hutan
Adat Kasepuhan Karang (486 Ha) Kabupaten Lebak Provinsi Banten (MHA Kasepuhan
Karang);
5) Hutan
Adat Bukit Sembahyang (39 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (MHA Air
Terjun);
6) Hutan
Adat Bukit Tinggi (41 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (MHA Suangai Deras);
7) Hutan
Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam (252 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi
(MHA Tigo Luhah Permenti);
8) Hutan
Adat Tigo Luhah Kemantan (452 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (MHA Tigo
Luhah Kemantan); dan
9) Hutan
Adat Pandumaan Sipituhuta (5.172 Ha) Kabupaten Humbang Hasudutan Provinsi
Sumatera Utara (MHA Pandumaan Sipituhuta).
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Khakim,Abdul. 2005. Pengantar
Hukum Kehutanan Indonesia dalam Era Otonomi daerah,
Bandung:PT Citra Aditya Bakti,hal108
Jurnal
Ilmiah
Cahyaningrum, Dian. .2015. implikasiPutusan
Mahkamah Konstitusi Mengenal Status Hutan Adat
Sebagai Hutan Hak,Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI,VolKajian
Vol. 20 No. 1 Maret 2015 hal. 6
Mandasari ,Zayanti.2014
Politik Hukum Pengaturan Masyarakat Hukum Adat (Studi Putusan Mahkamah
Konstitusi).Yogyakarta: Jurnal Hukum IUS QUIA
IUSTUM NO. 2 VOL. 21 APRIL 2014: 227 - 250
Subarudi,2014,
Kebijakan Pengelolaan Hutan Adat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/Puu-X/2012:Suatu
Tinjauan Kritis,Bogor: Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan,Vol11
No3 tahun 2014(207-274)
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012
Website
Subarudi,2014, Kebijakan Pengelolaan
Hutan Adat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/Puu-X/2012:Suatu Tinjauan
Kritis,Bogor: Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan,Vol11 No3 tahun 2014(207-274)
Lihat Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012
Njurumana, ND. 2006. Nilai
penting kearifan lokal dalam rehabilitasi lahan.
(online)http://www.dephut.go.id/INFORMASI/MKI/06VI/06VNilai%20penting.htm
diakses 23 Februari 2016
Zayanti Mandasari,2014, Politik Hukum Pengaturan Masyarakat Hukum Adat
(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi),Yogyakarta: Jurnal Hukum IUS
QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 21 APRIL 2014: 227 - 250
Dian cahyaningrum,2015,implikasiPutusan Mahkamah
Konstitusi Mengenal Status Hutan Adat Sebagai Hutan Hak,Jakarta: Pusat
Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI,VolKajian
Vol. 20 No. 1 Maret 2015 hal. 6
Lihat: Mahkamah
Konstitusi, Putusan Nomor 35/ PUU-X/2012 tentang Pengujian UU Nomor 41 Tahun
1999 Terhadap UUD Tahun 1945.