Negara
sebagai badan hukum publik, memiliki fungsi yang wajib diembannya sebagaimana
yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Fungsi
itu berupa (1) melindungi segenap bangsa Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan
umum; (3) mencerdaskan ehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Keempat fungsi tersebut tentu tidak dapat terlaksana apabila tidak ditopang
dengan keuangan Negara sebagai sumber pembiayaannya.
Pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan Negara berada pada pemerintah sebagai bagian dari
pemerintahan Negara. Hal ini didasarkan bahwa pemerintah berkewajiban memenuhi
tugas-tugas sebagaimana termaktub dalam alinea keempat UUD 1945. Secara konstitusional, pemeriksa pengelolan
dan tanggung jawab keuangan Negara dilaksanakan oleh suatu lembaga Negara
yaitu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pengaturan mengenai BPK ini sendiri
secara jelas diatur dalam Pasal 23 E ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa
“untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara
diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri”.
Pasal
23 E UUD 1945 sebagai dasar hukum BPK kemudian dituangkan secara lebih spesifik
dalam Undang- Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan
(BPK). Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang ini dijelaskan bahwa BPK adalah
lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pegelolaan dan tanggungjawab
keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945.
Tugas
pokok dan fungsi BPK yaitu memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan
negara/daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga
Negara, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan
Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara
atau Daerah berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan
tanggungjawab keuangan negara/daerah. Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan
keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu sesuai
dengan standar pemeriksaan keuangan negara/daerah yang hasil pemeriksaannya
diserahkan kepada DPR, DPD dan DPRD sesuai dengan kewenangannya untuk ditindak
lanjuti.
BPK
berwewenang menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan
oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh
bendahara, pengelola BUMN/BUMD, lembaga atau badan yang menyelenggarakan
pengelolaan keuangan negara. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana,
BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwewenang sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya
unsur pidana tersebut untuk dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik
yang berwewenang sesuai dengan peraturanperundang-undangan.
Pemeriksaan
atas laporan keuangan dilakukan dalam rangka memberikan pendapat atau opini
atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Opini
BPK sendiri merupakan pernyataan atau pendapat profesional BPK yang merupakan
kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam
laporan keuangan.[i]
Berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggungjawab Keuangan Negara, opini pemeriksaan BPK diberikan berdasarkan
kriteria umum yaitu (1) Kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP),
(2) Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan (3)
Efektifitas Sistem Pengendalian Internal (SPI).
Berdasarkan
Buletin Teknis (Bultek) 01 tentang
Pelaporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah paragraf 13
tentang Jenis Opini. Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan oleh
pemeriksa, yaitu Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Opini Wajar dengan
Pengecualian (WDP), Opini Tidak Wajar (TW), dan Tidak Memberi Pendapat (TMP)
atau menolak memberi opini.[ii] Dimana Opini WTP sendiri
merupakan penilaian tertinggi yang diberikan, karena menunjukkan bahwa laporan
keuangan tersebut telah disajikan secara wajar, tidak terdapat kesalahan yang
material, dan sesuai standar. Dengan demikian, dapat diandalkan pengguna dengan
tidak akan mengalami kesalahan dalam proses pengambilan keputusan.
Hasil opini dari BPK adalah hal yang menarik untuk dikaji
lebih lanjut karena banyak pemerintah baik itu lembaga Negara maupun pemerintah
daerah yang mendapatkan Opini WTP tetapi dilain sisi juga terdapat banyak
korupsi atau penyelewengan. Di
beberapa entitas yang memperoleh WTP, pejabatnya malah tersangkut korupsi.
Misalnya, Kementerian Agama mendapat WTP, belakangan ditemukan korupsi.
Provinsi Sumatera Utara mendapat WTP, tapi Gubernur terlibat korupsi. Hal sama
terjadi di beberapa entitas pemerintah. Kasus korupsi pada entitas yang
berpredikat WTP telah menggerus kepercayaan masyarakat kepada BPK.[iii]
Pada praktiknya pemberian opini WTP hanya akan menjadi komoditas untuk
meningkatkan gengsi para pejabat publik dalam menjalankan amanah yang diberikan
rakyat. Masih lekat dalam ingatan, penyuapan Rp. 400 juta kepada auditor BPK
agar memberikan opini WTP atas laporan keuangan tahun 2009 Pemerintah Kota
Bekasi.[iv] Pada 2016, bekas auditor BPK
Provinsi Sulawesi Utara, Bahar, dijatuhi hukuman 5 tahun 6 bulan penjara. Ia
terbukti meloloskan laporan hasil pemeriksaan sejumlah pemerintah kabupaten dan
pemerintah kota di Sulut. Pejabat pemkab atau pemkot itu dimintai dana hingga
Rp 1,6 miliar.[v] Serangkaian
kasus yang melibatkan auditor BPK ini telah menjadi bukti konkret masih
rendahnya kualitas dan intergritas dari para Auditor BPK saat ini dan tidak
menutup jalan adanya praktik korupsi oleh para Auditor tersebut.
Berdasarkan
permasalahan-permasalahan tersebut, tentulah dibutuhkan suatu gebrakan dalam
proses penetapan WTP, khususnya kaitannya terhadap peran auditor BPK Dalam
proses penetapan opini WTP terhadap
praktik-praktik korupsi yang berkembang saat ini. Maka dari itu, sebagai
mahasiswa yang menerapkan prinsip Agent
Of Change memberikan sebuah gagasan solutif berupa PELITA (Penguatan Nilai Integritas Auditor Keuangan): Meminimalisir
Praktik Korupsi Dalam Penetapan Opini WTP oleh BPK di Indonesia Untuk Mendorong
Akuntabilitas Keuangan Negara. PELITA menjadi sebuah konsep untuk
meningkatkan dan menguatkan nilai integritas dari hasil penilaian, penginputan
dan penelitian keuangan oleh auditor BPK tanpa adanya unsur praktik korupsi
didalamnya sehingga BPK mampu mengemban tugas sebagai pengawal harta negara demi terwujudnya
akuntabilitas keuangan negara.
Realitas Hasil Pemeriksaan Badan
Pemeriksa Keuangan dengan Opini Wajar Tanpa Pengecualian Saat Ini
Badan Pemeriksa Keuangan
Republik Indonesia (BPK RI) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. Dalam melakukan pemeriksaan atas laporan
keuangan, BPK wajib menguji dan menilai sistem pengendalian internal (SPI)
entitas yang bersangkutan, seperti yang di amanatkan dalam pasal 12 UU nomor 15
tahun 2004 berbunyi “Dalam rangka pemeriksaan keuangan dan/atau kinerja,
pemeriksa melakukan pengujian dan penilaian atas pelaksanaan sistem
pengendalian intern pemerintah.” Dalam pemeriksaan keuangan ini, BPK memberikan
sebuah pendapat/opini terkait hasil temuannya.
Berbicara tentang opini,
yang menjadi fokus dalam penulisan ini adalah terkait opini wajar tanpa
pengecualian atau yang disingkat WTP. WTP disebut juga clean opinion, pendapat tanpa cacat, pendapat bersih dan lain-lain.
Sedangkan laporan audit yang berisi opini WTP adalah laporan yang paling
dibutuhkan oleh semua pihak. Opini WTP dari BPK RI merupakan salah satu target
setiap daerah di Indonesia. Opini yang diberikan atas Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD) merupakan cermin bagi kualitas akuntabilitas keuangan
atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Jika opini dikaitkan dengan
pemeriksaan, pemeriksaan BPK yang bebas dan mandiri adalah salah satu asas
pengelolaan keuangan negara merupakan merupakan tugas yang memerlukan
integritas yang tinggi, pekerjaan ini tidak dapat dilaksanakan dengan baik
tanpa integritas yang kuat didalamnya. Mewujudkan auditor yang berintegritas
ini didasarkan pada visi BPK yang ingin Menjadi pendorong pengelolaan keuangan negara
untuk mencapai tujuan negara melalui pemeriksaan yang berkualitas dan
bermanfaat. Serta misinya yaitu, Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara secara bebas dan mandiri; dan Melaksanakan tata kelola
organisasi yang berintegritas, independen, dan profesional.
Peran PELITA Dalam Meminimalisir Praktik
Korupsi Penetapan WTP Oleh BPK Untuk Mendorong Terciptanya Akuntabilitas
Keuangan Negara
Perumusan opini atas laporan
keuangan pemerintah merupakan suatu tahapan krusial dalam sebuah penugasan
audit keuangan. Hal ini dikarenakan opini yang dikeluarkan auditor menjadi
ukuran atas kualitas laporan keuangan pemerintah dan juga mencerminkan kualitas
dari pekerjaan audit itu sendiri. Dalam
praktik audit keuangan di BPK, perumusan opini ini tanpa disadari telah menjadi
sebuah proses yang problematik. Dikatakan problematik karena pada kenyataannya
para auditor BPK, khususnya di Perwakilan, sering menghadapi kesulitan dalam
merumuskan opini dan, sebagai konsekuensinya, opini yang dibuat para auditor
itu terkadang tidak konsisten satu sama lain. Bisa jadi, yang kualitas
laporannya lebih baik memperoleh opini lebih jelek dari yang pelaporan
keuangannya kurang baik.
Disamping itu, adanya
“gengsi” tersendiri bagi lembaga/pemerintah jika mendapatkan opini WTP dari BPK
telah menimbulkan benih praktik korupsi. Apalagi saat ini banyak terdapat salah
persepsi yang terjadi dikalangan masyarakat terhadap opini yang diberikan oleh
BPK seperti opini wajar tanpa pengecualian. Masyarakat berpendapat bahwa opini
wajar tanpa pengecualian sama dengan entitas tersebut bebas akan korupsi.
Akibat selanjutnya apabila terjadi korupsi maka masyarakat meragukan opini yang
dikeluarkan oleh BPK tersebut sehingga banyak kalangan yang meragukan kinerja
BPK yang dapat memperjual belikan opini yang dikeluarkan oleh BPK.[vi]
Dengan
kondisi itu, wajar saja kemudian muncul banyak dugaan bahwa pemberian opini
oleh BPK telah diperjualbelikan. Kementerian, lembaga pemerintah, pemerintah
daerah (pemda), dan BUMN tentu menginginkan agar laporan keuangan institusinya
mendapat predikat WTP. Sebab, predikat WTP akan memberikan kebanggaan dan
menjadi tolak ukur keberhasilan sebuah institusi dalam mengelola anggarannya.
WTP merupakan predikat terbaik yang bisa diberikan terhadap laporan
keuangan.Opini ini diterbitkan jika laporan keuangan dianggap memberikan
informasi yang bebas dari salah saji material.Jika laporan keuangan diberikan
opini jenis ini, artinya auditor meyakini berdasarkan bukti-bukti audit yang
dikumpulkan, institusi yang bersangkutan dianggap telah menyelenggarakan
prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan baik.
Opini BPK tentu saja
dikeluarkan oleh auditor dengan memperhatikan secara teliti syarat penetapan
WTP itu sendiri, namun ironisnya, fakta memperlihatkan beberapa auditor yang
tersangkut kasus penyuapan terkait penetapan opini WTP ini. Misal, pada tahun
2010, dua auditor BPK Provinsi Jawa Barat, Enang Hernawan dan Suharto, divonis
empat tahun penjara karena terbukti menerima suap sebesar Rp 400 juta dari
Walikota Bekasi Mochtar Muhammad dengan maksud memberikan opini WTP terhadap
LKPD Bekasi Tahun 2009.[vii]
Pada 2016, kasus yang sama menimpa
bekas auditor BPK Provinsi Sulawesi Utara, Bahar, dijatuhi hukuman 5 tahun 6
bulan penjara.Ia terbukti meloloskan laporan hasil pemeriksaan sejumlah
pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Sulut. Pejabat pemkab atau pemkot
itu dimintai dana hingga Rp 1,6 miliar.[viii]
Kasus-kasus tersebut tentu saja mengikis kepercayaan masyarakat terhadap BPK.
Juga menimbulkan kecurigaan kepada institusi yang mendapatkan predikat WTP,
apakah diperoleh dengan wajar atau tidak.
Langkah
solutif yang penulis tawarkan agar dapat dilakukan untuk mengembalikan
kepercayaan masyarakat terhadap BPK adalah dengan dicanangkannya program PELITA
atau Penguatan Nilai Integritas Auditor Keuangan. Melihat besarnya godaan
duniawi bagi seorang auditor, maka dibutuhkan sebuah konsep ideal dalam rangka
penguatan nilai integritas auditor. Program ini sangat sejalan dengan komitmen BPK dan Pemerintah untuk menegakkan
nilai-nilai integritas, independensi, dan profesionalisme dalam menyusun
laporan keuangan dan pemeriksaannya.[ix]
Yaitu
sebuah konsep yang mampu melahirkan auditor profesional, berkarakter tangguh,
berintegritas tinggi, cerdas, inovatif dan kreatif dalam menjalankan tugasnya
sebagai auditor.
Adapun
Program PELITA dapat diuraikan sebaga berikut :
a. Sosialisasi
- Professional Socialisation
Sosialisasi
(professional socialisation) merupakan media bagi auditor untuk memahami dan
mendalami arti etos, nilai-nilai, norma, etika, intergritas, dan standar
perilaku yang ditetapkan dalam kode etik. Sosialisasi yang efektif akan
mengembangkan kemampuan auditor untuk menimbang dan mengaplikasikan kode etik
itu dalam keseharian tugas dan perilaku mereka.
Kunci
utama sosialisasi adalah pendidikan dan pelatihan, serta keteladanan dari
pimpinan. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh ketua BPK[x], yang menyatakan bahwa BPK, Kementerian, serta lembaga
pengguna anggaran telah membangun dan memiliki sistem yang mampu mencegah
terjadinya gangguan terhadap nilai-nilai integritas dan profesionalisme. Namun,
sebaik apapun sistem yang ada, tidak akan dapat berfungsi dengan baik apabila
terjadi kolusi atau intervensi dari pihak yang seharusnya bertanggung jawab.
Sehingga BPK dengan Pemerintah perlu menjamin bekerjanya sistem yang telah
dibangun dalam pengelolaan keuangan negara
b. Harus
ada acuan perumusan opini yang (harapannya) lebih praktis dan terukur, dengan
tetap mempertimbangkan aspek ilmiah.
Pentinya
acuan dalam perumusan opini agar menghindari adanya perbedaan dalam penetuan
opini. Hal ini juga secara tidak langsung meminamalisir adanya penyuapan karena
penetuan opini harus berdasarkan acuan yang sudah dibuat dan disepakati.
Pada
dasarnya, dalam mewujudkan hal tersebut, tentulah dibutuhkan sinergitas dari stakeholder yang terdiri atas:
1. Badan
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI)
2. Auditor
3. Lembaga
Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
4. Masyarakat
c.
Penerapan Sanksi tegas terhadap Auditor BPK” Nakal”
Langkah yang tidak kalah penting adalah penerapan sanksi
yang tegas bagi para auditor BPK yang Nakal dalam hal ini pihak yang melakukan
pelanggaran. Hal ini sejalan dengan
prinsip BPK yang secara tegas tidak mentolerir adanya pelanggaran hukum
dan kode etik. Dan senantiasa secara tegas mengambil tindakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Penerapan sanksi yang tegas diawali dengan dilakukannya
pemeriksaan secara internal atas pelanggaran kode etik (sesuai Peraturan BPK
No. 3 Tahun 2016 tentang Kode Etik BPK) dan pelanggaran disiplin pegawai
(sesuai Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS). Hasil
pemeriksaan atas pelanggaran kode etik dan pelanggaran disiplin pegawai
tersebut dijadikan sebagai dasar bagi Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE) BPK
untuk memutuskan bentuk sanksi kepada yang bersangkutan.
BPK dan KPK secara kelembagaan bekerja sama untuk
menuntaskan kasus ini sesuai dengan kewenangannya. Dalam hal ini, BPK berwenang
pada ranah pelanggaran kode etik dan KPK berwenang pada ranah tindak pidana.Proses
dan hasil pemeriksaan internal BPK akan dikomunikasikan kepada aparat penegak
hukum, dalam hal ini KPK, sebagai bentuk dukungan dalam memperkuat penindakan
hukum. BPK sepenuhnya mendukung segala upaya penegakkan hukum yang telah dan
sedang dilaksanakan oleh KPK.[xi]
Langkah tegas ini tentu menjadi bukti nyata akan peran nyata BPK dalam mengawal harta negara demi
menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi setiap rakayat indonesia.
Dalam
rangka mengawasi alur keuangan dan mengurangi praktik korupsi dibentuklah Badan
Pengawas Keuangan (BPK). Pemeriksaan BPK atas laporan keuangan dilakukan dalam
rangka memberikan opini atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam
laporan keuangan oleh auditor, opini yang dimaksud terdiri dari empat kategori,
dimana opini yang paling menjadi dinanti ialah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)
dengan arti bahwa laporan keuangan tersebut telah disajikan secara wajar, tidak
terdapat kesalahan yang material, dan sesuai standar. Namun disayangkan,
praktik korupsi juga dapat muncul dalam pemberian WTP ini dengan bukti beberapa
kasus yang telah terjadi di Indonesia.
Maka dari itu,
“PELITA (Penguatan Nilai Integritas Auditor Keuangan): Meminimalisir Praktik
Korupsi Dalam Penetapan Opini WTP oleh BPK di Indonesia”, hadir sebagai sebuah
jawaban terkait permasalahan praktik korupsi di Indonesia. Konsep ini merupakan
upaya pemerintah terkhususnya BPK untuk lebih mengintensifkan nilai integritas
keuangan yang dibuat atas dasar penemuan dan pemeriksaan auditor BPK. PELITA
dilaksanakan dengan melalui kerjasama dari BPK, Auditor, LKPD dan Masyarakat,
dengan program yang terdiri dari Sosialisasi
- Professional Socialisation dan harus ada acuan perumusan opini yang lebih
praktis dan terukur, dengan tetap mempertimbangkan aspek ilmiah. Serta
penerapan sanksi yang tegas. Melalui program PELITA ini diharapkan mampu menjadi upaya untuk
menjadikan setiap auditor keuangan BPK menjadi berintegritas dan tentunya
menjadi pendorong tercapainya akuntabilitas keuangan negara dalam rangka
mengawal keuangan negara. Diharapkan PELITA dapat dilaksanakan
guna meminimalisir praktik korupsi dan mengembalikan citra BPK sebagai badan independen
pengawal keungan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan
Negara
Undang-undang
Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
SUMBER UTAMA
http://www.bpk.go.id/news/bpk-dan-pemerintah-berkomitmen-tegakkan
profesionalisme-dalam-penyusunan-dan-pemeriksaan-laporan-keuangan,
http://www.bpk.go.id/news/pernyataan-bpk-atas-penetapan-status-tersangka-auditor-bpk
http://www.bpk.go.id/assets/files/otherpub/2017/otherpub__2017_1511750809.pdf.
http://www.bpk.go.id/assets/files/storage/2017/12/file_storage_1512639232.pdf
JURNAL
/ ARTIKEL :
INTERNET
Muhammad Fajar Marta. 2017. Ketika Opini Audit BPK Tak Lagi Bermakna. Kompas.com.
[i] Arnold Nicodemus Musa, 2015, Kajian Hukum atas Opini BPK RI Terhadap
Laporan Pengelolaan dan pertanggungjawaban
Keuangan Pemerintah Daerah, Jurnal
Lex et Societatis, Vol. III/No. 2/Mar/2015/Edisi Khusus, Hal 83
[vi] Ifany Arfa Unnisa, 2015, Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Auditor Dalam Pemberian Opini Audit Atas Laporan Keuangan, Jurnal
Jom FEKON: Volume 2 Nomor 2, Oktober 2015, Hlm. 3
[vii] Muhammad Fajar
Marta, 2017, Ketika
Opini Audit BPK Tak Lagi Bermakna, Kompas.com - 31/05/2017, 09:00
Wita
[xi] Siaran Pers Biro Humas dan Kerja
sama internasional BPK RI,2017, Pernayataan BPK
Atas Penetapan Status Tersangka Auditor BPK,
http://www.bpk.go.id/news/pernyataan-bpk-atas-penetapan-status-tersangka-auditor-bpk